Era Baru Dunia Kedokteran Setelah COVID-19
Pandemi COVID-19 seolah menguji sistem kesehatan yang diberlakukan di berbagai Negara, tidak ketinggalan kita di Indonesia. Hampir sebagian besar tidak siap, bahkan Amerika sebagai Negara Adi Kuasa kecolongan menghadapi COVID-19. Penanganan Pandemi tidak saja pada lini KURATIF atau PENGOBATAN namun juga lini PROMOTIF dan PREFENTIF. Budaya sehat seluruh dunia seolah dikontrol oleh Pandemi.
Kita dapat melihat perubahan kebiasaan secara global, masyarakat dunia mulai rajin mencuci tangan, membawa hand sanitizer kemana-mana, mengunakan masker, melakukan pemeriksaan suhu tubuh secara rutin, berkomunikasi dengan dokter melalui media online untuk menjaga jarak (physical distancing).
Tidak sampai disana, masyarakat dunia mulai terbiasa belajar di rumah (WFH), para siswa seolah-olah dipaksa mengunakan kurikulum ala COVID-19 dengan belajar di rumah. Disinilah sintesa, "Di setiap rumah adalah Sekolah" berlaku secara global. Siapa yang menyangka kutipan di dalam Wresphati Tatwa ini kemudian terjadi hampir merata di seluruh dunia.
Tidak sampai disana, masyarakat kini "dipaksa" untuk mengurangi bepergian, dampaknya kita memiliki banyak waktu melakukan perjalanan ke dalam. Menata rumah, kebun dan hubungan dengan keluarga terkasih. Dalam perjalanan ke dalam diri ini pula, saya teringat akan tulisan Alm. Ida Pedanda Sidemen,"Nandurin Karang Awak" (Menanam di pekarangan di dalam diri). Apa yang ditanam? Tidak lain dan tidak bukan adalah benih pikiran. Pikiran yang baik akan dituai sebagai buah kebaikan berupa kesehatan, keberlimpahan, kedamaian, kesehatan dan kebahagiaan. Sebaliknya benih yang buruk tumbuh dan dituai sebagai kesakitan, kekurangan, perkelahian dan ketidakbahagiaan.
Benih Pikiran tumbuh menjadi Perkataan (Wicara), kemudian berkembang menjadi Perbuatan (Wiraga), kemudian berbunga Kebiasaan (Wirasa) yang tertanam di dalam Pikiran Bawah Sadar. Mengendalikan 98% apa yang Anda lakukan di kemudian hari. Kemudian secara kolektif benih-benih dari yang lahir dari kelahiran COVID menjadi sebuah per-ADAB-an. Peradaban baru, peradaban manusia yang adil dan berbudi luhur. Manusia yang memahami batasan diri, manusia yang memperlakukan lingkungan dan saudara-saudaranya dengan etika tinggi.
Manusia yang menemukan tempat peribadatan dan Tuhannya di dalam diri (Ring Meru Sarira). Oleh karena telah mengalami diri sebagai tempat suci, maka semua tingkah laku dan tatanan diri nya sepenuhnya dituntun oleh Shastra (Niti Shastra).
Kita bisa melihat karena ketakutan tertular atau menularkan, masyarakat mulai tidak meludah dan batuk dengan sembarangan. Mulai rajin melakukan penyemprotan desinfektan di sekitar rumah, mulai terjalin ikatan persaudaraan yang murni dari politik.
Demikian juga di dunia kesehatan, penanganan kesehatan yang selam ini dilakukan secara konvensional, melihat manusia sebagai penyakit atau hanya nomor kamar. Sekarang mulai menyadari manusia adalah satu kesatuan individu yang terdiri dari aspek bio-psiko-imuno-sosio-spiritual. Para dokter mulai luluh egonya, menangani pasien pasien tidak saja dari sau disiplin ilmu namun dari berbagai aspek.
Bagai sebuah lidi yang disatukan, dokter, paramedis serta praktisi komplementer bersatu untuk memperjuangkan kesembuhan pasien, dimana tali yang menyatukan mereka adalah penentu kesembuhan yakni Tuhan itu sendiri. Dunia kesehatan kembali ke alam (back to nature) sebagaimana fondasi yang telah ditanam oleh Bapak Kedokteran; Hipocrates. Dunia Kesehatan secara nyata bergeser dari pendekatan konvensional (kedokteran barat) sekarang saling mengisi dengan kedokteran timur (komplementer) menjadi sebuah pelayanan yang dikenal dengan Kedokteran Terintegrasi.
Tidak lagi hanya melihat manusia sari penyakitnya, namun bagaimana gaya hidup, perasaan, hubungan sosial, kesehatan energetik organ-organ di dalam, dan pasien mendapat hak berdaulat dalam menentukan pilihan obat dan metode apa yang ia pilih sebagai jalan kesembuhan. Kedokteran Terintegrasi menekankan hubungan antara dokter dan pasien. Menghormati kemampuan penyembuhan yang ada di dalam diri setiap manusia (inner Healing).
Kita dapat melihat perubahan kebiasaan secara global, masyarakat dunia mulai rajin mencuci tangan, membawa hand sanitizer kemana-mana, mengunakan masker, melakukan pemeriksaan suhu tubuh secara rutin, berkomunikasi dengan dokter melalui media online untuk menjaga jarak (physical distancing).
Tidak sampai disana, masyarakat dunia mulai terbiasa belajar di rumah (WFH), para siswa seolah-olah dipaksa mengunakan kurikulum ala COVID-19 dengan belajar di rumah. Disinilah sintesa, "Di setiap rumah adalah Sekolah" berlaku secara global. Siapa yang menyangka kutipan di dalam Wresphati Tatwa ini kemudian terjadi hampir merata di seluruh dunia.
Tidak sampai disana, masyarakat kini "dipaksa" untuk mengurangi bepergian, dampaknya kita memiliki banyak waktu melakukan perjalanan ke dalam. Menata rumah, kebun dan hubungan dengan keluarga terkasih. Dalam perjalanan ke dalam diri ini pula, saya teringat akan tulisan Alm. Ida Pedanda Sidemen,"Nandurin Karang Awak" (Menanam di pekarangan di dalam diri). Apa yang ditanam? Tidak lain dan tidak bukan adalah benih pikiran. Pikiran yang baik akan dituai sebagai buah kebaikan berupa kesehatan, keberlimpahan, kedamaian, kesehatan dan kebahagiaan. Sebaliknya benih yang buruk tumbuh dan dituai sebagai kesakitan, kekurangan, perkelahian dan ketidakbahagiaan.
Benih Pikiran tumbuh menjadi Perkataan (Wicara), kemudian berkembang menjadi Perbuatan (Wiraga), kemudian berbunga Kebiasaan (Wirasa) yang tertanam di dalam Pikiran Bawah Sadar. Mengendalikan 98% apa yang Anda lakukan di kemudian hari. Kemudian secara kolektif benih-benih dari yang lahir dari kelahiran COVID menjadi sebuah per-ADAB-an. Peradaban baru, peradaban manusia yang adil dan berbudi luhur. Manusia yang memahami batasan diri, manusia yang memperlakukan lingkungan dan saudara-saudaranya dengan etika tinggi.
Manusia yang menemukan tempat peribadatan dan Tuhannya di dalam diri (Ring Meru Sarira). Oleh karena telah mengalami diri sebagai tempat suci, maka semua tingkah laku dan tatanan diri nya sepenuhnya dituntun oleh Shastra (Niti Shastra).
Kita bisa melihat karena ketakutan tertular atau menularkan, masyarakat mulai tidak meludah dan batuk dengan sembarangan. Mulai rajin melakukan penyemprotan desinfektan di sekitar rumah, mulai terjalin ikatan persaudaraan yang murni dari politik.
Demikian juga di dunia kesehatan, penanganan kesehatan yang selam ini dilakukan secara konvensional, melihat manusia sebagai penyakit atau hanya nomor kamar. Sekarang mulai menyadari manusia adalah satu kesatuan individu yang terdiri dari aspek bio-psiko-imuno-sosio-spiritual. Para dokter mulai luluh egonya, menangani pasien pasien tidak saja dari sau disiplin ilmu namun dari berbagai aspek.
Bagai sebuah lidi yang disatukan, dokter, paramedis serta praktisi komplementer bersatu untuk memperjuangkan kesembuhan pasien, dimana tali yang menyatukan mereka adalah penentu kesembuhan yakni Tuhan itu sendiri. Dunia kesehatan kembali ke alam (back to nature) sebagaimana fondasi yang telah ditanam oleh Bapak Kedokteran; Hipocrates. Dunia Kesehatan secara nyata bergeser dari pendekatan konvensional (kedokteran barat) sekarang saling mengisi dengan kedokteran timur (komplementer) menjadi sebuah pelayanan yang dikenal dengan Kedokteran Terintegrasi.
Tidak lagi hanya melihat manusia sari penyakitnya, namun bagaimana gaya hidup, perasaan, hubungan sosial, kesehatan energetik organ-organ di dalam, dan pasien mendapat hak berdaulat dalam menentukan pilihan obat dan metode apa yang ia pilih sebagai jalan kesembuhan. Kedokteran Terintegrasi menekankan hubungan antara dokter dan pasien. Menghormati kemampuan penyembuhan yang ada di dalam diri setiap manusia (inner Healing).
Artikel Menarik Lainnya
24/01/2020
Dalem Arsa Wijaya; Dalam Paradoks Zaman
Munculnya "Raja-Raja" diberbagai daerah dengan berbagai latar belakang, beberapa hari ini menghangat di berbagai media. 18/04/2019
Sisi Eksoterik dari Sebuah "Gagapan"
Gagapan merupakan sebuah frase dalam bahasa Bali yang bersinonim dengan buah tangan atau oleh-oleh. Tidak banyak yang mengetahui sisi eksoterik dari sebuah gagapan 7/04/2019
Filosofi Di Balik Gerakan Tari Rejang
Tari adalah bentuk ekspresi estetika manusia, yang terbentuk dari dinamika budaya lokal yang mengiringinya. 20/06/2020
EKSISTENSI 6 GENERASI DI ERA PANDEMI
Usia menentukan tingkat imunitas Anda selama melalui COVID19. Dari 6 generasi yang dikemukakan oleh Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, yang manakah Anda 11/04/2020