5 Fase Pergeseran Tumpek Landep
Dalam sharing yang dilakukan melalui media online oleh Pasemetonan Ageng Trah Shri Arya Sentong dengan menghadirkan narasumber Ketua PHDI Bali, Prof.DR. I Gusti Ngurah Sudiana, DR.Ni Kadek Surpi Arya Dharma, dr. I Gusti Ngurah Gede Putra, Msi dengan tema Tumpek Landep Era Baru.
Dalam sharing tersebut Ibu Surpi memberikan sedikit bocoran hasil penelitiannya yang bekerja sama dengan Pengprov Bali dalam mewujudkan SDM unggul berbasis budaya, dimana generasi muda merasakan adanya missing link khususnya terhadap nilai-nilai filosofis dari berbagai yadnya yang ada di Bali.
Adanya kehampaan makna saat melakukan yadnya ini berdampak kepada kurangnya minat generasi muda untuk menekuni bebantenan, sehingga cenderung mengarah kepada pola upacara praktis dengan kecenderungan "membeli" upakara. Menurut Prof.Ngurah saat seseorang membuat bebantenan, merupakan sebuah laku yoga. Dibutuhkan konsentrasi, ketelitian, dan seni yang muncul dari dalam untuk membuat suatu bentuk banten yang indah. Ketiga narasumber sepakat, sharing knowladge harus dimulai di tingkat keluarga sebagai lingkungan terdekat dalam berlajar ilmu budhi pekerti.
Muncul sebuah pertanyaan yang sangat bagus dari peserta,"Kenapa Tumpek Landep seolah-olah menjadi perayaan odalan kendaraan?" Pertanyaan ini mengantarkan peserta menyusuri garis waktu ketika masyrakat secara global berada di era prasejarah, dimana manusia sangat dekat dengan alam. Oleh karenanya alat bantu seperti batu tajam, tulang dan berbagai senjata menjadi kawan sekaligus senjata untuk mencari penghidupan. Kala itu peralatan ini diupacarai dengan sakral dan diyakini sebagai wujud energetik yang memadat dari energi kosmis.
Kedua, Era Agraris. Manusia mulai membuka lahan pertanian bersamaan dengan itu ilmu membuat persenjataan berkembang. Lahirlah keris, tombak, dan berbagai alat-alat yang dapat membantu dalam pertanian dan pertahanan. Ketiga, Era Industri. Manusia mulai mengenal mesin dan otomotif, dari berjalan atau memakai kuda, kini sudah bergeser ke kendaraan. Pada kondisi ini kemajuan pesat dialami manusia. Manusia dapat berpindah tempat dan membawa hasil pertanian ke tempat yang jauh dengan waktu yang singkat. Atas dasar ini kendaraan menjadi "yatra" baru sebagai representatif pusaka di eranya.
Keempat, Era Konseptual, sebuah era dimana manusia menjadikan gagasan sebagai senjata utama. Kita dapat melihat aplikasi gojek mendapatkan keuntungan dari jasa transportasi tanpa harus memiliki kendaraan. Demikian juga OYO, Traveloka dan berbagai konsep bisnis berbasis sharing profit lain-nya. Pada era ini, kita menyadari pikiran merupakan pusaka yang dapat mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan.
Pola pikir era agraris-industri masih melekat pada beberapa masyarakat sehingga kita masih melihat saat Tumpek Landep, mereka melakukan persembahyangan menghadap ke kendaraan. Sehingga seolah-olah warga kita memuja benda. Dalam konteks ritual itu tidaklah salah. Karena ritual merupakan bagian terluar dari suatu tatwa atau inti penghayatan dalam Gama Bali.
Dengan melakukan puja di depan kendaraan, muncul getaran syukur kepada Hyang Parama Kawi sebagai Maha Kuasa yang telah memberi manusia daya cipta untuk membuat peralatan yang dapat membantu manusia mengalami moksatham jagathita.
Kelima, Era Covid19, kita mulai melihat upacara Tumpek Landep dilaksanakan di merajan atau sanggah. Sedangkan untuk di kendaraan cukup dilakukan pengayaban dan tirta. Hal ini dampak dari era konseptual dan keadaan alam yang membuat manusia kemudian berfikir kepada tatwa (inti sari) dari filosofi diadakannya Tumpek Landep.
Perilaku manusia yang muncul dalam laku ritual sangat dipengaruhi keadaan zaman namun filosofi yang mendasari adanya Tumpek Landep tetap adanya, yakni memperingati "benih kehidupan" yang berada disetiap ciptaan-NYA.
Dalam sharing tersebut Ibu Surpi memberikan sedikit bocoran hasil penelitiannya yang bekerja sama dengan Pengprov Bali dalam mewujudkan SDM unggul berbasis budaya, dimana generasi muda merasakan adanya missing link khususnya terhadap nilai-nilai filosofis dari berbagai yadnya yang ada di Bali.
Adanya kehampaan makna saat melakukan yadnya ini berdampak kepada kurangnya minat generasi muda untuk menekuni bebantenan, sehingga cenderung mengarah kepada pola upacara praktis dengan kecenderungan "membeli" upakara. Menurut Prof.Ngurah saat seseorang membuat bebantenan, merupakan sebuah laku yoga. Dibutuhkan konsentrasi, ketelitian, dan seni yang muncul dari dalam untuk membuat suatu bentuk banten yang indah. Ketiga narasumber sepakat, sharing knowladge harus dimulai di tingkat keluarga sebagai lingkungan terdekat dalam berlajar ilmu budhi pekerti.
Muncul sebuah pertanyaan yang sangat bagus dari peserta,"Kenapa Tumpek Landep seolah-olah menjadi perayaan odalan kendaraan?" Pertanyaan ini mengantarkan peserta menyusuri garis waktu ketika masyrakat secara global berada di era prasejarah, dimana manusia sangat dekat dengan alam. Oleh karenanya alat bantu seperti batu tajam, tulang dan berbagai senjata menjadi kawan sekaligus senjata untuk mencari penghidupan. Kala itu peralatan ini diupacarai dengan sakral dan diyakini sebagai wujud energetik yang memadat dari energi kosmis.
Kedua, Era Agraris. Manusia mulai membuka lahan pertanian bersamaan dengan itu ilmu membuat persenjataan berkembang. Lahirlah keris, tombak, dan berbagai alat-alat yang dapat membantu dalam pertanian dan pertahanan. Ketiga, Era Industri. Manusia mulai mengenal mesin dan otomotif, dari berjalan atau memakai kuda, kini sudah bergeser ke kendaraan. Pada kondisi ini kemajuan pesat dialami manusia. Manusia dapat berpindah tempat dan membawa hasil pertanian ke tempat yang jauh dengan waktu yang singkat. Atas dasar ini kendaraan menjadi "yatra" baru sebagai representatif pusaka di eranya.
Keempat, Era Konseptual, sebuah era dimana manusia menjadikan gagasan sebagai senjata utama. Kita dapat melihat aplikasi gojek mendapatkan keuntungan dari jasa transportasi tanpa harus memiliki kendaraan. Demikian juga OYO, Traveloka dan berbagai konsep bisnis berbasis sharing profit lain-nya. Pada era ini, kita menyadari pikiran merupakan pusaka yang dapat mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan.
Pola pikir era agraris-industri masih melekat pada beberapa masyarakat sehingga kita masih melihat saat Tumpek Landep, mereka melakukan persembahyangan menghadap ke kendaraan. Sehingga seolah-olah warga kita memuja benda. Dalam konteks ritual itu tidaklah salah. Karena ritual merupakan bagian terluar dari suatu tatwa atau inti penghayatan dalam Gama Bali.
Dengan melakukan puja di depan kendaraan, muncul getaran syukur kepada Hyang Parama Kawi sebagai Maha Kuasa yang telah memberi manusia daya cipta untuk membuat peralatan yang dapat membantu manusia mengalami moksatham jagathita.
Kelima, Era Covid19, kita mulai melihat upacara Tumpek Landep dilaksanakan di merajan atau sanggah. Sedangkan untuk di kendaraan cukup dilakukan pengayaban dan tirta. Hal ini dampak dari era konseptual dan keadaan alam yang membuat manusia kemudian berfikir kepada tatwa (inti sari) dari filosofi diadakannya Tumpek Landep.
Perilaku manusia yang muncul dalam laku ritual sangat dipengaruhi keadaan zaman namun filosofi yang mendasari adanya Tumpek Landep tetap adanya, yakni memperingati "benih kehidupan" yang berada disetiap ciptaan-NYA.
Artikel Menarik Lainnya
18/04/2019
Beringin ''Mesaput Poleng''
Di Bali, hampir setiap sudut mata memandang kain ''poleng'' ada di mana-mana. Baik di depan rumah, di pura, ataupun di pinggir-pinggir jalan. 7/04/2019
Khasiat Don Piduh
Don Piduh sangat populer di Bali. Dalam lotar Usada Bali, penggunaan Don Piduh sebagai obat tradisional yang sangat mujarab 7/04/2019
Mau Anak mudah Nurut Sama Orang Tua, Lakukan ini..!
Mabin merupakan kegiatan mendudukan anak dipangkuan. Sebuah budaya Nusantara yang mengandung kecerdasan kinestetik dan efektif sebagai sarana pendidikan karakter anak 26/08/2019
SENI BERJALAN
Seni berjalan baik keluar diri mauoun ke dalam diri, membutuhkan tuntunan dan bimbingan 16/04/2020