New Normal With Sidhakarya Quotient
Bagaimana kita akan memasuki era New Normal pasca pandemi covid? Sampai kapan ini akan berlangsung? Tabungan semakin menipis dan negara tidak kunjung menerapkan strategi namun hanya membangun narasi. Demikian kurang lebih ungkapan seorang kawan dalam pesan di WA. Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan Anda juga.
Bayangkan saja, jika situasi ini berlangsung terus menerus, apa yang akan Anda alami? Seorang ahli virologi menyatakan virus corona akan ada sampai akhir zaman, jadi narasi berdamai dengan covid kurang tepat. Mengingat perdamaian merupakan sebuah kesepakatan kedua belah pihak. Betul demikian...? Bisa iya bisa tidak bukan. Iya bila virusnya mau diajak berdamai, tidak jika kita tidak memahami "bahasa" virus.
Lalu bagaimana menemukan titik temunya? Fisika kuantum memberi kita sebuah celah untuk menjalin komunikasi terbuka dengan virus. Sebagaimana organisasi kehidupan lainnya, virus merupakan sebuah mikroorganisme yang terbentuk dari DNA. Kemudian DNA terbentuk dari struktur yang lebih kompleks hingga pada suatu titik semua keberadaan berada dalam wujud energi yang kita sebut Quark.
Di tataran energetik inilah, kita dapat berkomunikasi secara terbuka dengan virus, sebagaimana yang dilakukan oleh leluhur Bali, saat mengalami endemi yang hampir saja menjadi penyebab gagalnya upacara Eka Dasa Rudra pada tahun 1415 Saka atau 1493 Masehi, dibawah kepemimpinan Dalem Waturenggong. Di dalam lontar Bebali Sidhakarya, digambarkan alam mengalami kerusakan yang parah, hewan peliharaan mati secara cepat dan misterius, demikian juga para manula mengalami sakit kemudian meninggal. Hal ini membuat Ida Dalem Frustasi, dan meminta para Bhagawanta Kerajaan, yakni Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka mencari jalan keluar.
Solusi belum ditemukan, narasi digulirkan, namun Ida Dalem tidak menyerah, Beliau merenung dan bersemadi untuk memohon tuntunan Hyang Parama Kawi. Melalui semadhi itu, beliau mendapatkan solusi. Kemudian memerintahkan punggawa kerajaan menjemput "saudara" Beliau yakni Brahmana Walaka Sangkya dari Keling, yang sempat digelandang tanpa diberi kesempatan untuk mengenalkan diri beberapa waktu yang lalu (kisah lengkap lihat di Buku The Secret Message Of Dalem Sidhakarya).
Apa hubungan kisah diatas dengan New Normal yang tidak lama lagi akan kita alami bersama? Begini begini...., izinkan saya memberi sebuah metafora. Bayangkan Anda berada dalam sebuah kendaraan mini bus dengan 6 orang termasuk pengemudi. Keenam orang di dalam bus memiliki keahlian mengemudi dengan spesialisasi masing-masing. Ada yang spesialis jalan berbatu, ada spesialis jalan menanjak, ada spesialis menyetir di malam hari hari dan seterusnya.
Kendaraan melaju kencang menuju sebuah tujuan di balik sebuah gunung. Maka perjalanan dilakukan siang malam tanpa berhenti, mereka saling bergantian sesuai dengan medan yang dihadapi. Sekarang bayangkan kendaraan itu adalah tubuh Anda. Dan keenam sopir tadi adalah "bagian diri" anda yang mengendalikan tubuh Anda. Bagian diri yang memiliki spesialisasi ini mudahnya saya sebut dengan "topeng". Nah bagaimana Anda dapat melalui perjalanan panjang dan menantang jika tidak mengenal bagian diri atau topeng di dalam diri Anda. Bisa jadi hanya satu bagian diri saja yang memonopoli kendali kendaraan Anda.
Bagian diri yang lelah karena memang bukan keahliannya menyetir dengan rintangan berbeda ini akan merasa frustasi, mudah marah, merasa lelah, dan tentu saja tidak lagi awas saat mengendalikan kendaraan. Yang pada akhirnya membahayakan kendaraan dan seluruh penumpangnya. Metafora ini lah kemudian menjelaskan, kenapa masih banyak orang yang tidak memakai masker saat keluar rumah, masih malas mencuci tangan, masih suka ngumpul-ngumpul padahal setiap hari media cetak dan elektronik menyampaikan himbauan. Dan hal ini menjawab kenapa kebayakan orang "menjerit", jeritan yang berasal dari kalbu terdalam.
Apakah mereka tidak tahu itu? Tentu saja mereka tahu, bahkan sangat tahu, namun "bagian diri" yang selama ini dipercaya menjadi pengemudi dalam kondisi "Normal" kekeh tidak mau digantikan dengan pengemudi yang terbentuk saat kondisi pandemi. Komunikasi di dalam kendaraan tidak jalan, sesama penumpang di dalam kendaraan tidak saling mengenal bahkan saling berkomunikasi satu sama lain. Hal inilah yang menyebabkan perilaku hidup sehat sulit dilaksanakan oleh "oknum" yang tidak mengenali potensi di dalam dirinya (baca: pengemudi di dalam pikirannya).
Bayangkan saja, jika pemandangan ini meluas dan tersiar ke mancanegara? Apakah Anda yakin para wisatawan mancanegara atau domistik merasa AMAN untuk liburan kembali ke Indonesia. Apakah dengan kondisi tersebut, mata rantai penyebaran Covid-19 dapat diputuskan? Tentu tidak bukan...?!
Maka, apabila saya menjadi nomer one person di sebuah kabupaten atau provinsi maka, saya akan menggunakan pendekatan yang dilakukan Dalem Waturenggong dalam mengatasi hal ini.
Pertama, setiap orang harus menyadari bahwa ini merupakan keadaan Abnormal, maka mereka harus "mengizinkan" bagian diri yang teredukasi dan terlatih khusus kondisi pandemi menjadi pemegang setir kendali yang aktif di dalam pikiran. Dengan demikian setiap orang akan mudah melakukan anjuran kesehatan selama berada di luar rumah, yakni memakai masker, jaga jarak, sering mencuci tangan dan tidak berkumpul.
Kedua, pemerintah daerah bekerjasama dengan koramil, polsek, puskesmas dan perangkat adat melakukan rapid tes di masing-masing desa. Desa yang rapid tes negatif diberikan zona hijau, artinya masyarakat dapat beraktifitas secara bebas namun terbatas di wilayah desa. Sedangkan jika ada positif dilanjutkan ke tes swab PCR. Bila PCR negatif berikan zona kuning dan aktivitas masyarakat dibatasi selama 14 hari. Bila PCR positif, jadikan zona merah, masyarakat dibatasi selama 28 hari.
Ketiga, ketika semua desa bebas, maka "penyisiran" dilakukan ke arah kota, jika suatu desa atau wilayah ada yang positif langsung karantina. Dan penjagaan di pintu masuk dan keluar wilayah diperketat.
Keempat, setiap 2 minggu sekali posyandu di masing-masing banjar adat membagikan vitamin kewarga secara gratis.
Kelima, pintu masuk ke provinsi diperketat dengan menunjukkan hasil pemerikaan Swab PCR (-), para penjaga diberikan insentif khusus dan APD lengkap.
Jika kelima tahapan ini dapat dilakukan, maka tidak membutuhkan waktu lama Bali akan menjadi provinsi pertama yang bebas dari Covid atau mengalami Sidhakarya.
Lalu apa setelah itu?
Kita terapkan protokol New Normal, dari awal datangnya wisatawan, selain membawa keterangan sehat (menunjukkan hasil PCR negatif), juga dilakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Para pelaku pariwisata dari driver, security, akomodasi dll melakukan protokol penapisan standar (cek suhu tubuh, cuci tangan, penggunaan masker dan phisical distancing).
Dalam hal ini penyedia layanan kesehatan memiliki peran penting di dalam setiap aspek kehidupan. Sebagaimana jargon yang sering kita ungkapkan kesehatan adalah segalanya, terlebih pada masa pandemi ini.
Dengan demikian kita tidak saja berdamai dengan virus covid, namun bersinergi dengan virus covid. Kok bisa sinergi itu lho, gimana maksudnya? Sekali bayangkan jika suadara Covid tidak ada, bagaimana kita membangkitkan semangat bernegara kesatuan ini? Bagaimana kita membuat masyarakat sadar akan kearifan lokal dan sadar akan pola hidup sehat. Dengan hadirnya saudara Covid, kita lebih menghargai sesama, alam dan Tuhan. Lho itu kan nilai-nilai Tri Hita Karana Bos..?! Yup....warisan kita bersama yang mesti diangkat, tidak saja kita jadikan tontonan bagi wisatawan namun untuk kita jadikan tuntunan.
Apa hubungan kisah diatas dengan New Normal yang tidak lama lagi akan kita alami bersama? Begini begini...., izinkan saya memberi sebuah metafora. Bayangkan Anda berada dalam sebuah kendaraan mini bus dengan 6 orang termasuk pengemudi. Keenam orang di dalam bus memiliki keahlian mengemudi dengan spesialisasi masing-masing. Ada yang spesialis jalan berbatu, ada spesialis jalan menanjak, ada spesialis menyetir di malam hari hari dan seterusnya.
Kendaraan melaju kencang menuju sebuah tujuan di balik sebuah gunung. Maka perjalanan dilakukan siang malam tanpa berhenti, mereka saling bergantian sesuai dengan medan yang dihadapi. Sekarang bayangkan kendaraan itu adalah tubuh Anda. Dan keenam sopir tadi adalah "bagian diri" anda yang mengendalikan tubuh Anda. Bagian diri yang memiliki spesialisasi ini mudahnya saya sebut dengan "topeng". Nah bagaimana Anda dapat melalui perjalanan panjang dan menantang jika tidak mengenal bagian diri atau topeng di dalam diri Anda. Bisa jadi hanya satu bagian diri saja yang memonopoli kendali kendaraan Anda.
Bagian diri yang lelah karena memang bukan keahliannya menyetir dengan rintangan berbeda ini akan merasa frustasi, mudah marah, merasa lelah, dan tentu saja tidak lagi awas saat mengendalikan kendaraan. Yang pada akhirnya membahayakan kendaraan dan seluruh penumpangnya. Metafora ini lah kemudian menjelaskan, kenapa masih banyak orang yang tidak memakai masker saat keluar rumah, masih malas mencuci tangan, masih suka ngumpul-ngumpul padahal setiap hari media cetak dan elektronik menyampaikan himbauan. Dan hal ini menjawab kenapa kebayakan orang "menjerit", jeritan yang berasal dari kalbu terdalam.
Apakah mereka tidak tahu itu? Tentu saja mereka tahu, bahkan sangat tahu, namun "bagian diri" yang selama ini dipercaya menjadi pengemudi dalam kondisi "Normal" kekeh tidak mau digantikan dengan pengemudi yang terbentuk saat kondisi pandemi. Komunikasi di dalam kendaraan tidak jalan, sesama penumpang di dalam kendaraan tidak saling mengenal bahkan saling berkomunikasi satu sama lain. Hal inilah yang menyebabkan perilaku hidup sehat sulit dilaksanakan oleh "oknum" yang tidak mengenali potensi di dalam dirinya (baca: pengemudi di dalam pikirannya).
Bayangkan saja, jika pemandangan ini meluas dan tersiar ke mancanegara? Apakah Anda yakin para wisatawan mancanegara atau domistik merasa AMAN untuk liburan kembali ke Indonesia. Apakah dengan kondisi tersebut, mata rantai penyebaran Covid-19 dapat diputuskan? Tentu tidak bukan...?!
Maka, apabila saya menjadi nomer one person di sebuah kabupaten atau provinsi maka, saya akan menggunakan pendekatan yang dilakukan Dalem Waturenggong dalam mengatasi hal ini.
Pertama, setiap orang harus menyadari bahwa ini merupakan keadaan Abnormal, maka mereka harus "mengizinkan" bagian diri yang teredukasi dan terlatih khusus kondisi pandemi menjadi pemegang setir kendali yang aktif di dalam pikiran. Dengan demikian setiap orang akan mudah melakukan anjuran kesehatan selama berada di luar rumah, yakni memakai masker, jaga jarak, sering mencuci tangan dan tidak berkumpul.
Kedua, pemerintah daerah bekerjasama dengan koramil, polsek, puskesmas dan perangkat adat melakukan rapid tes di masing-masing desa. Desa yang rapid tes negatif diberikan zona hijau, artinya masyarakat dapat beraktifitas secara bebas namun terbatas di wilayah desa. Sedangkan jika ada positif dilanjutkan ke tes swab PCR. Bila PCR negatif berikan zona kuning dan aktivitas masyarakat dibatasi selama 14 hari. Bila PCR positif, jadikan zona merah, masyarakat dibatasi selama 28 hari.
Ketiga, ketika semua desa bebas, maka "penyisiran" dilakukan ke arah kota, jika suatu desa atau wilayah ada yang positif langsung karantina. Dan penjagaan di pintu masuk dan keluar wilayah diperketat.
Keempat, setiap 2 minggu sekali posyandu di masing-masing banjar adat membagikan vitamin kewarga secara gratis.
Kelima, pintu masuk ke provinsi diperketat dengan menunjukkan hasil pemerikaan Swab PCR (-), para penjaga diberikan insentif khusus dan APD lengkap.
Jika kelima tahapan ini dapat dilakukan, maka tidak membutuhkan waktu lama Bali akan menjadi provinsi pertama yang bebas dari Covid atau mengalami Sidhakarya.
Lalu apa setelah itu?
Kita terapkan protokol New Normal, dari awal datangnya wisatawan, selain membawa keterangan sehat (menunjukkan hasil PCR negatif), juga dilakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Para pelaku pariwisata dari driver, security, akomodasi dll melakukan protokol penapisan standar (cek suhu tubuh, cuci tangan, penggunaan masker dan phisical distancing).
Dalam hal ini penyedia layanan kesehatan memiliki peran penting di dalam setiap aspek kehidupan. Sebagaimana jargon yang sering kita ungkapkan kesehatan adalah segalanya, terlebih pada masa pandemi ini.
Dengan demikian kita tidak saja berdamai dengan virus covid, namun bersinergi dengan virus covid. Kok bisa sinergi itu lho, gimana maksudnya? Sekali bayangkan jika suadara Covid tidak ada, bagaimana kita membangkitkan semangat bernegara kesatuan ini? Bagaimana kita membuat masyarakat sadar akan kearifan lokal dan sadar akan pola hidup sehat. Dengan hadirnya saudara Covid, kita lebih menghargai sesama, alam dan Tuhan. Lho itu kan nilai-nilai Tri Hita Karana Bos..?! Yup....warisan kita bersama yang mesti diangkat, tidak saja kita jadikan tontonan bagi wisatawan namun untuk kita jadikan tuntunan.
Artikel Menarik Lainnya
24/01/2020
'Jero' & Tikus Logam
Kelahiran Shio Tikus, tahun ini diwarnai dengan unsur logam. Semoga senantiasa sehat dan bahagia 10/08/2020
TETABUHAN ARAK - BEREM DALAM TANTRA
Arak dan Berem merupakan minuman tradisional Bali yang tidak asing dikehidupan orang Bali pada umumnya. Apa fiosofi dibalik minumam arak dan berem ini, mari kita sedikit berdiskusi 18/04/2019
Beringin ''Mesaput Poleng''
Di Bali, hampir setiap sudut mata memandang kain ''poleng'' ada di mana-mana. Baik di depan rumah, di pura, ataupun di pinggir-pinggir jalan. 7/04/2019
Fakta Tumbuhan ‘Tiying’.
Di tengah masyarakat Bali, Tiying adalah tumbuhan yang sangat terkenal dan merupakan jenis tanaman yang paling banyak memiliki kegunaan dan manfaat. 19/07/2020