BALI ERA BARU; Manusia Lama dengan Paradigma Baru
Duduk menikmati segelas kopi, saya berdialog dengan sebuah buku yang berjudul Niti Shastra; Ancient Wisdom For Modern Leaders, karya guruji Anand Krishna. Tanpa terasa buku yang tebalnya 300-an halaman itu saya kunyah dan cerna dalam waktu 2 jam saja. Saya hanyut dengan ide dan gagasan dari Niti Shastra yang dibingkai ulang dalam perpektif modern oleh Guruji.
Setelah itu saya mendiamkan sejenak semua informasi yang masuk, kemudian sebuah pemikiran lahir begitu saja tatkala mendengar penyiar Radio menyampaikan Bali Era Baru. Yah, kita telah menjadi korban dari deviden of empera yang kemudian kita wariskan dalam sistem KASTA. Dari pikiran sadar, kita semua tahu, ajaran Veda tidak mengenal KASTA namun sebuah strata sosial berdasarkan kompetensi yang disebut dengan WARNA.
Namun, insersi ide ini begitu mendarah daging di masyarakat kita, selain repetisi ide yang dilakukan selama 350 tahun, juga dikuatkan oleh emosi yang intens. Sehingga walaupun pikiran sadar tahu bahwa paham yang kita anut WARNA, namun pikiran bawah sadar menterjemahkan sebagai KASTA. Itulah yang menyebabkan gesekan sosial terjadi. Orang Bali suka berseteru dengan saudara sendiri. Pada perkembangannya, para cendekiawan kemudian berfikir, harus ada jembatan yang mengantarkan paradigma KASTA menuju WARNA. Kemudian pada tahun 70-an dibentuklah organisasi ke-WANGSA-an yang didasarkan kepada garis geniologis dan ideologis yang kemudian disebut juga SOROH.
Sekarang masyarakat Bali hampir sebagian besar sudah berada diparadigma WANGSA/SOROH namun masih dipengaruhi paradigma KASTA. Kenapa saya katakan demikian? Kita terjebak dalam hagemoni paling soroh atau soroh paling. Hal ini disebabkan karena tidak semua paham peta perjalanan atau roadmap dan tujuan yang ingin dicapai oleh sistem WARNA yang digariskan oleh Veda.
Secara geniologis, seorang manusia tercipta dengan proses yang sama, namun dengan watak yang berbeda. Watak ini dipengaruhi oleh Karma Wasana masing-masing. Sebagaimana cahaya matahari yang dipantulkan ke sebuah prisma, maka akan menghasilkan warna-warni cahaya. Demikian pula manusia, sejatinya kita merupakan manusia manca warna. Kok Bisa manca warna? Ambilah saya sebagai contoh, sebagai seorang ayah saya akan bekerja dengan tenaga melayani anak-anak. Saat bekerja dengan tenaga saya adalah SUDRA. Kemudian saya pula menjual barang dan jasa, membuat star up bussiness, maka saya adalah WESIA. Tatkala saya mengambil peran sebagai pemimpin keluarga, saya adalah KSATRYA. Kemudian saat saya mendalami shastra agama, saya adalah BRAHMANA.
Dengan kita menerima diri sebagai MANUSIA MANCA WARNA, kita juga dapat menerima ke-BHINEKA-an warna dari orang lain. Saat itu terjadi kita berkolaborasi mencapai tujuan yang sama dengan paradigma WARNA. Kita tidak lagi melihat KASTA atau WANGSA sebagai hal yang penting, kita mulai menghormati kompetensi orang lain sebagai warna-warni, yang bila kembali disatukan akan menjadi cahaya terang sebagaimana cahaya Sang Surya. Saat itu terjadi, masyarakat masuk dalam paradigma SUNYA . SUNYA dari ego, sunya dari perselisihan yang tidak perlu, sunya dari pertengakaran dan sunya dari perbedaan.
Saat inilah kita mengalami BALI ERA BARU. Bali yang dipenuhi oleh manusia lama yang memiliki paradigma baru, sebagai MANUSIA SUNYA. Apakah Sunya merupakan akhir perjalanan? Shastra mengungkap SUNYA adalah halaman depan dari MOKSA. Dengan demikian kita memahami roadmap atau peta perjalanan kesadaran manusia Bali sebagai inspirasi dari Manusia Baru untuk Indonesia Gemilang 2045. Indonesia akan menjadi poros DUNIA BARU yang Jaya, Shanti dan Jagathita.
Kita mesti memulainya saat ini juga, tidak penting paradigma apa yang Anda genggam saat ini, yang utama adalah Anda mengambil KEPUTUSAN untuk melangkah maju menuju tujuan bersama, yakni MOKSATHAM JAGATHITA YA CA ITI DHARMA. Apa yang bisa kita lakukan bersama? Paling tidak jika tulisan ini bermanfaat untuk membuka cakrawala dan kesadaran saudara-saudara kita, sebarkanlah dengan didasari oleh kasih dan prema (cinta) kepada Bali dan Indonesia sebagai Ibu Pertiwi yang sama- sama kita cintai.
Dengan penuh kasih dan syukur, terima kasih telah membaca dan menyebarkan tulisan ini.
Rahayu
dr.I Gusti Ngurah Putera Eka Santhosa
Penulis Buku The Secret Message Of Dalem Sidhakarya
Setelah itu saya mendiamkan sejenak semua informasi yang masuk, kemudian sebuah pemikiran lahir begitu saja tatkala mendengar penyiar Radio menyampaikan Bali Era Baru. Yah, kita telah menjadi korban dari deviden of empera yang kemudian kita wariskan dalam sistem KASTA. Dari pikiran sadar, kita semua tahu, ajaran Veda tidak mengenal KASTA namun sebuah strata sosial berdasarkan kompetensi yang disebut dengan WARNA.
Namun, insersi ide ini begitu mendarah daging di masyarakat kita, selain repetisi ide yang dilakukan selama 350 tahun, juga dikuatkan oleh emosi yang intens. Sehingga walaupun pikiran sadar tahu bahwa paham yang kita anut WARNA, namun pikiran bawah sadar menterjemahkan sebagai KASTA. Itulah yang menyebabkan gesekan sosial terjadi. Orang Bali suka berseteru dengan saudara sendiri. Pada perkembangannya, para cendekiawan kemudian berfikir, harus ada jembatan yang mengantarkan paradigma KASTA menuju WARNA. Kemudian pada tahun 70-an dibentuklah organisasi ke-WANGSA-an yang didasarkan kepada garis geniologis dan ideologis yang kemudian disebut juga SOROH.
Sekarang masyarakat Bali hampir sebagian besar sudah berada diparadigma WANGSA/SOROH namun masih dipengaruhi paradigma KASTA. Kenapa saya katakan demikian? Kita terjebak dalam hagemoni paling soroh atau soroh paling. Hal ini disebabkan karena tidak semua paham peta perjalanan atau roadmap dan tujuan yang ingin dicapai oleh sistem WARNA yang digariskan oleh Veda.
Secara geniologis, seorang manusia tercipta dengan proses yang sama, namun dengan watak yang berbeda. Watak ini dipengaruhi oleh Karma Wasana masing-masing. Sebagaimana cahaya matahari yang dipantulkan ke sebuah prisma, maka akan menghasilkan warna-warni cahaya. Demikian pula manusia, sejatinya kita merupakan manusia manca warna. Kok Bisa manca warna? Ambilah saya sebagai contoh, sebagai seorang ayah saya akan bekerja dengan tenaga melayani anak-anak. Saat bekerja dengan tenaga saya adalah SUDRA. Kemudian saya pula menjual barang dan jasa, membuat star up bussiness, maka saya adalah WESIA. Tatkala saya mengambil peran sebagai pemimpin keluarga, saya adalah KSATRYA. Kemudian saat saya mendalami shastra agama, saya adalah BRAHMANA.
Dengan kita menerima diri sebagai MANUSIA MANCA WARNA, kita juga dapat menerima ke-BHINEKA-an warna dari orang lain. Saat itu terjadi kita berkolaborasi mencapai tujuan yang sama dengan paradigma WARNA. Kita tidak lagi melihat KASTA atau WANGSA sebagai hal yang penting, kita mulai menghormati kompetensi orang lain sebagai warna-warni, yang bila kembali disatukan akan menjadi cahaya terang sebagaimana cahaya Sang Surya. Saat itu terjadi, masyarakat masuk dalam paradigma SUNYA . SUNYA dari ego, sunya dari perselisihan yang tidak perlu, sunya dari pertengakaran dan sunya dari perbedaan.
Saat inilah kita mengalami BALI ERA BARU. Bali yang dipenuhi oleh manusia lama yang memiliki paradigma baru, sebagai MANUSIA SUNYA. Apakah Sunya merupakan akhir perjalanan? Shastra mengungkap SUNYA adalah halaman depan dari MOKSA. Dengan demikian kita memahami roadmap atau peta perjalanan kesadaran manusia Bali sebagai inspirasi dari Manusia Baru untuk Indonesia Gemilang 2045. Indonesia akan menjadi poros DUNIA BARU yang Jaya, Shanti dan Jagathita.
Kita mesti memulainya saat ini juga, tidak penting paradigma apa yang Anda genggam saat ini, yang utama adalah Anda mengambil KEPUTUSAN untuk melangkah maju menuju tujuan bersama, yakni MOKSATHAM JAGATHITA YA CA ITI DHARMA. Apa yang bisa kita lakukan bersama? Paling tidak jika tulisan ini bermanfaat untuk membuka cakrawala dan kesadaran saudara-saudara kita, sebarkanlah dengan didasari oleh kasih dan prema (cinta) kepada Bali dan Indonesia sebagai Ibu Pertiwi yang sama- sama kita cintai.
Dengan penuh kasih dan syukur, terima kasih telah membaca dan menyebarkan tulisan ini.
Rahayu
dr.I Gusti Ngurah Putera Eka Santhosa
Penulis Buku The Secret Message Of Dalem Sidhakarya
Artikel Menarik Lainnya
2/08/2019
11 Tangga Pencerahan Di Balik Hari Raya Galungan
Setiap 210 hari, masyarakat Bali, merayakan hari raya Galungan & Kuningan. Suatu ketika saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa di Bali merayakan hari Raya Galungan. 10/04/2020
Sekarura Dalam Pengobatan Tradisional dan Integratif
Kedokteran terintegrasi merupakan gabungan antara kedokteran konvensional dengan kedokteran non konvensional (komplementer & alternatif) 6/04/2020
PAYUNG ATLET & KASIH IBU
Atlet, Akademisi, Klinisi dan Praktisi memang idelanya berkolaborasi dalam meningkatkan kualitas prestasi yang aman dan nyaman untuk semuanya. Kini Bali telah memulai langkah awal 15/04/2020
Layangan From Wholeness To Wellness
Keutuhan Tubuh, Nafas dan Pikiran merupakan tahap pertama dalam memahami keutuhan-wholeness. Menghayati keutuhan merupakan kendaraan mencapai kesehatan optimal-wellness 6/04/2020