11 Tangga Pencerahan Di Balik Hari Raya Galungan
Setiap 210 hari, masyarakat Bali, merayakan hari raya Galungan & Kuningan. Suatu ketika saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa di Bali merayakan hari Raya Galungan. Pertanyaan ini kemudian membawa kepada sebuah jawaban, biasanya kita akan disuguhkan jawaban normatif, yakni kemenangan dharma akan adharma. Itu tidak salah, namun saya lebih tertarik kenapa ceremoni ini kemudian dijadikan budaya.
Mari kita ungkap sedikit demi sedikit, Hari Raya Galungan merupakan auskulturasi antara sistem keyakinan, kepercayaan, serta budaya masyarakat Bali. Tercatat dalam Pura Bali Dwipa, Galungan pertama dirayakan pada tahun 882 Masehi atau 804 Saka. Lontar tersebut berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.” Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.”
Hari Raya Galungan mengandung rancang bangun yang sangat muktahir, menyampaikan pesan-pesan luhur secara kolektif dari generasi ke generasi melalui ceremonial yang bersifat kolektif. Kolektif maksudnya adalah, siapapun Anda, suka tidak suka, mengerti tidak mengerti, mau tidak mau setiap 210 hari akan melihat, dan berada pada suasana perayaan ini. Apakah Anda seorang penekun Tantra, Gama Tirta, Sampradaya, atau kebetulan terdampar di Bali akan berada pada suasana Galungan, yang ditandai dengan penjor yang ditancapkan di depan setiap bangunan di Bali.
Mengapa bisa demikian? Jika kita ingin melihat secara utuh teknologi di balik rancang bangun Hari Raya Galungan, maka terlebih dahulu kita kupas rangkaian upacara yang menyertai hari Raya Galungan.
Dimulai dari Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh yang dirayakan 25 hari sebelum Galungan, secara filosofis merupakan penghormatan kepada Alam Semesta melalui tumbuh tumbuhan. Tumbuhan dimetaforakan sebagai "Kaki atau Nini" yang kemudian diajak berkomunikasi sehingga hasil pangan dan berbagai tumbuh-tumbuhan menjadi "nged" melimpah untuk dipergunakan merayakan Galungan. Jika kita ingat Buku Secret Message Of Water karya Masaru Emoto, perayaan ini merupakan bentuk komunikasi energi dengan alam yang tentunya berkontribusi menjadikan Bali memiliki vibrasi alam yang masih murni di tengah-tengah kemajuan pembangunan setidaknya sampai saat ini.
Berikutnya adalah rangkaian upacara Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Sugi artinya membasuh atau membersihkan, Jawa dimaknai dengan "Jaba/Luar" sedangkan Bali/Wali bermakna penyucian ke dalam diri. Pada Sugihan Jawa dilakukan upacara "mererebu" untuk menyucikan bhuana agung dengan melakukan pembersihan di merajan, lingkungan rumah dan tempat suci lainnya. Sedangkan keeseokan harinya dilakukan upacara Sugihan Bali, yakni menyucikan diri dengan melakukan pelukatan atau pembersihan diri.
Sampai disini mari kita simpulkan sejenak, dari melakukan komunikasi energi dengan alam (tumbuh-tumbuhan) melalui Tumpek yang juga bermakna "mendekat" kemudian penyucian lingkungan dan diri.
Masuk ke Hari "Penyekeban", nyekeb bermakna pengekangan atau pengendalian, dirayakan pada hari minggu, Pahing Wuku dungulan. Dilanjutkan hari Penyajan, yang berasal dari kata "saja" dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suatu kebenaran atau keseriusan. Penyekeban menyampaikan pesan agar umat mulai memantapkan diri menyambut Galungan. Keesokan harinya dirayakan upacara "penampahan". Apa yang ditampah? Umumnya disimbolkan menyemblih Babi, dan wujud babi sendiri merupakan symbol dari sifat rajas (agresif) dan tamas (pasif) dari diri kita.
Masyarakat di Bali umumnya akan "mebat" yakni mencincang daging diatas alas kayu, sehingga menimbulkan suara yang unik dari benturan golok dengan kayu. "tek tek.tek..." "mencincang ego dan rasa keaguan dalam diri" kemudian menghaturkan hasil olahan kepada leluhur. Pada hari ini pula umat akan mendirikan penjor sebagai rasa syukur dan mengingatkan diri untuk melihat kebawah (bersyukur) terhadap pemberian alam selama ini. Itu mengapa ujung penjor selalu menghadap ke bawah. Penjor dirias dengan berbagai "pala" melambangkan hidup ini dihiasi oleh hasil perbuatan (Phala) yang merupakan anak dari perbuatan (karma).
Kemudian Hari Raya Galungan, identik dengan melaksanakan persembahyangan ke "kampung halaman" mengunjungi parahyangan, baik merajan alit, merajan agung, panti, dadya, khayangan tiga hingga "rumah bajang" rumah asal sebelum menikah bagi wanita. Galungan juga dapat diartikan "lunga" atau pergi. Pergi kemana? Tentunya Pergi ke Asal. Dimana asal kita? Tentu dari orang tua. Dari mana orang tua berasal? Dari Kakek-nenek demikian seterusnya sehingga merujuk kepada leluhur yang telah menyatu dengan semesta yang kemudian dikenal sebagai "Hyang Dewa". Dalam laku meditasi kesehatan Sidhakarya, "lunga" atau perjalanan ke dalam merupakan jalan tercepat menuju asal.
Mengingat tatwa Manusia Rare, bawasannya kesejatian seseorang saat seseorang mengenal Brahman di dalam diri (atman) sehingga disini kemudian kita memahami sloka "Brahman Atman Aikyam", sejatinya Brahman (Tuhan) adalah tunggal dengan Atma. Dalam psikologi modern Atma ini kemudian dipadankan dengan banyak nama dari Roh, Jiwa, Medan Energi Murni, dan lain sebagainya. Mungkin nanti kita bicarakan perbedaan dari pelbagai istilah tesebut.
Esok hari setelah Galungan, dirayakan umanis Galungan. Biasanya umat akan berkunjung ke sanak saudara, silahturahmi demikian padannnya dari kata timur tengah. Yang perlu dicatat adalah tradisi "ngelawang" yang umumnya menjadi ciri khas dari Umanis Galungan. Ngelawang disimbolkan dengan anak anak yang menarikan barong disertai gambelan. Secara filosofis ngelawang dapat dimaknai untuk membuka pintu hati terhadap kemungkinan tanpa batas (samudera tanpa tepi) berbagai kebaikan, kebajikan dan keberlimpahan.
Pada hari Sabtu, dikenal sebagai Pemaridan Guru. Marid artinya ngelungsur/nyurud atau memohon. Siapa yang disebut Guru disini? Tentu adalah pengalaman, sehingga dengan melakukan rangakaian diatas, sejatinya merupakan laku Yoga atau penyatuan dengan melakukan meditasi (memediasi) bagian-bagian diri yang membawa pengalaman (memory) dan emosi yang dapat kita ambil hikmahnya untuk hidup dan kehidupan.
Pada Hari Minggu, dilakukan upacara Ulihan dalam kontek upakara Ulihan ditandai dengan ngeluwur atau memulangkan entitas dewata kembali ke alamnya. Dalam laku meditasi, Ulihan dimaknai sebagai memulangkan bagian-bagian diri ke posisi nya masing-masing.
Senin,Kliwon Uku Kuningan dirayakan Hari Pemacekan Agung. "Pacek" bermakna tekek atau penguatan. Dirayakan dengan mengahaturkan terima kasih kepada seluruh bagian diri. Umumnya masyarakat akan menghaturkan puja di Pura Dasar Bhuana. Apa dasar dari bhuana atau bhumi? Tanah atau Mannah (pikiran). Mantapkan pikiran. Pikiran sendiri merupakan suatu energi yang dihasilkan dari aktifitas berfikir yang berpusat di otak, namun penemuan muktahir pikiran meresap di setiap tubuh tepatnya setiap sel sehingga vibrasi pikiran merupakan pancaran energi kumulatif dari triliunan sel yang menyusun keberadaan setiap orang (Buku Biology Of Belief). Apakah Anda mengarahkannya kepada tujuan yang jelas dan positif atau sebaliknya. Pemacekan Agung menyampaikan pesan dari leluhur untuk kita memantapkan pikiran dengan sangat cerdas.
Ketika seseorang telah harmoni dengan alam (tumpek bubuh) sehat fisik dan rohani (sugihan), kemudian melakukan perjalanan ke dalam (penyekeban, penyajan, penampahan, galungan, umanis, pemaridan, ulihan) dan membulatkan tujuan di hari pemacekan agung. Apa yang akan terjadi kepada seseorang yang telah harmoni dengan diri dan mengarahkan energi kehidupannya (pemacekan agung), fokus terhadap tujuan hidup yang lebih tinggi?
Tentu sebuah terang atau cahaya bagai cahaya matahari di pagi hari yang kaya akan pro vitamin D, umat merayakan hari raya Kuningan, 10 Hari setelah Gari Raya Galungan, konon Manusia Rare telah sampai di tujuannya, yakni bertemu kesejatiannya. Kemudian dirayakan sebagai Hari raya Kuningan. Enlightening (pencerahan), dirayakan dengan melakukan puja dengan berbagai symbol senjata, perisai (tamiang, kolem, endong) dan nasi kuning tentunya. Apa maksudnya? Seseorang yang telah menemukan kesejatian ibarat seseorang yang telah memiliki senjata lengkap dalam melalui kehidupan yang paripurna, jaya, santi dan jagathita. Ia telah melampaui sekat-sekat diri yang menutupi cahaya atma yang berada di dalam diri. Keadaan telah melampaui diri dan bertemu kesejatian oleh Dalem Waturenggong, diabadikan dalam sebuah nama yakni "Sidhakarya". Lebih lanjut dapat membaca buku The Secret Message Of Dalem Sidhakarya.
Rangkain perayaan Galungan ditutup dengan perayaan Pegat Wakan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Pahang, sebulan setelah Galungan. Dirayakan dengan mencabut penjor, membakar, dan kemudian memasukkan abunya ke dalam "klungah"/(kelapa) kemudian di tanam di pekarangan di dalam tanah (manah). Filosofinya tanamlah sesuatu yang baik dalam pikiran. Banyak hal yang bisa kita ambil dari perayaan Galungan, diantaranya fakta yang baru saja terungkap bahwa setiap sel dalam tubuh selalu mati dan lahir. Misal kulit setiap 21 hari, sel darah 120 hari dan total 210 hari sekali, seluruh sel tubuh kita benar-benar baru. Itu mengapa leluhur merayakan hari raya otonan (galungan personal) dan Galungan yang kita rayakan setiap 210 hari merupakan (otonan jagat).
Jika teknologi di balik hari raya Galungan ini dipahami oleh masyarakt luas, tidak ada lagi perdebatan tentang upakara, etika semua menyatu dalan tatwa yang menuntun kita dalam kesejatian. Mohon maaf atas penuturan yang boleh dikatakan "nyeleneh" ini namun demikianlah sekiranya bila kita mau membuka diri, menghubungkan rangkaian hari raya Galungan dengan teknologi dan saint terkini. Salam Damai
Mari kita ungkap sedikit demi sedikit, Hari Raya Galungan merupakan auskulturasi antara sistem keyakinan, kepercayaan, serta budaya masyarakat Bali. Tercatat dalam Pura Bali Dwipa, Galungan pertama dirayakan pada tahun 882 Masehi atau 804 Saka. Lontar tersebut berbunyi: “Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.” Artinya: “Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.”
Hari Raya Galungan mengandung rancang bangun yang sangat muktahir, menyampaikan pesan-pesan luhur secara kolektif dari generasi ke generasi melalui ceremonial yang bersifat kolektif. Kolektif maksudnya adalah, siapapun Anda, suka tidak suka, mengerti tidak mengerti, mau tidak mau setiap 210 hari akan melihat, dan berada pada suasana perayaan ini. Apakah Anda seorang penekun Tantra, Gama Tirta, Sampradaya, atau kebetulan terdampar di Bali akan berada pada suasana Galungan, yang ditandai dengan penjor yang ditancapkan di depan setiap bangunan di Bali.
"Rangkaian Hari Raya Galungan Merupakan Perjalanan Seseorang Menuju Kesejatian"
~Eka Santhosa~
Mengapa bisa demikian? Jika kita ingin melihat secara utuh teknologi di balik rancang bangun Hari Raya Galungan, maka terlebih dahulu kita kupas rangkaian upacara yang menyertai hari Raya Galungan.
Dimulai dari Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh yang dirayakan 25 hari sebelum Galungan, secara filosofis merupakan penghormatan kepada Alam Semesta melalui tumbuh tumbuhan. Tumbuhan dimetaforakan sebagai "Kaki atau Nini" yang kemudian diajak berkomunikasi sehingga hasil pangan dan berbagai tumbuh-tumbuhan menjadi "nged" melimpah untuk dipergunakan merayakan Galungan. Jika kita ingat Buku Secret Message Of Water karya Masaru Emoto, perayaan ini merupakan bentuk komunikasi energi dengan alam yang tentunya berkontribusi menjadikan Bali memiliki vibrasi alam yang masih murni di tengah-tengah kemajuan pembangunan setidaknya sampai saat ini.
Berikutnya adalah rangkaian upacara Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Sugi artinya membasuh atau membersihkan, Jawa dimaknai dengan "Jaba/Luar" sedangkan Bali/Wali bermakna penyucian ke dalam diri. Pada Sugihan Jawa dilakukan upacara "mererebu" untuk menyucikan bhuana agung dengan melakukan pembersihan di merajan, lingkungan rumah dan tempat suci lainnya. Sedangkan keeseokan harinya dilakukan upacara Sugihan Bali, yakni menyucikan diri dengan melakukan pelukatan atau pembersihan diri.
Sampai disini mari kita simpulkan sejenak, dari melakukan komunikasi energi dengan alam (tumbuh-tumbuhan) melalui Tumpek yang juga bermakna "mendekat" kemudian penyucian lingkungan dan diri.
Masuk ke Hari "Penyekeban", nyekeb bermakna pengekangan atau pengendalian, dirayakan pada hari minggu, Pahing Wuku dungulan. Dilanjutkan hari Penyajan, yang berasal dari kata "saja" dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai suatu kebenaran atau keseriusan. Penyekeban menyampaikan pesan agar umat mulai memantapkan diri menyambut Galungan. Keesokan harinya dirayakan upacara "penampahan". Apa yang ditampah? Umumnya disimbolkan menyemblih Babi, dan wujud babi sendiri merupakan symbol dari sifat rajas (agresif) dan tamas (pasif) dari diri kita.
Masyarakat di Bali umumnya akan "mebat" yakni mencincang daging diatas alas kayu, sehingga menimbulkan suara yang unik dari benturan golok dengan kayu. "tek tek.tek..." "mencincang ego dan rasa keaguan dalam diri" kemudian menghaturkan hasil olahan kepada leluhur. Pada hari ini pula umat akan mendirikan penjor sebagai rasa syukur dan mengingatkan diri untuk melihat kebawah (bersyukur) terhadap pemberian alam selama ini. Itu mengapa ujung penjor selalu menghadap ke bawah. Penjor dirias dengan berbagai "pala" melambangkan hidup ini dihiasi oleh hasil perbuatan (Phala) yang merupakan anak dari perbuatan (karma).
Kemudian Hari Raya Galungan, identik dengan melaksanakan persembahyangan ke "kampung halaman" mengunjungi parahyangan, baik merajan alit, merajan agung, panti, dadya, khayangan tiga hingga "rumah bajang" rumah asal sebelum menikah bagi wanita. Galungan juga dapat diartikan "lunga" atau pergi. Pergi kemana? Tentunya Pergi ke Asal. Dimana asal kita? Tentu dari orang tua. Dari mana orang tua berasal? Dari Kakek-nenek demikian seterusnya sehingga merujuk kepada leluhur yang telah menyatu dengan semesta yang kemudian dikenal sebagai "Hyang Dewa". Dalam laku meditasi kesehatan Sidhakarya, "lunga" atau perjalanan ke dalam merupakan jalan tercepat menuju asal.
Mengingat tatwa Manusia Rare, bawasannya kesejatian seseorang saat seseorang mengenal Brahman di dalam diri (atman) sehingga disini kemudian kita memahami sloka "Brahman Atman Aikyam", sejatinya Brahman (Tuhan) adalah tunggal dengan Atma. Dalam psikologi modern Atma ini kemudian dipadankan dengan banyak nama dari Roh, Jiwa, Medan Energi Murni, dan lain sebagainya. Mungkin nanti kita bicarakan perbedaan dari pelbagai istilah tesebut.
Esok hari setelah Galungan, dirayakan umanis Galungan. Biasanya umat akan berkunjung ke sanak saudara, silahturahmi demikian padannnya dari kata timur tengah. Yang perlu dicatat adalah tradisi "ngelawang" yang umumnya menjadi ciri khas dari Umanis Galungan. Ngelawang disimbolkan dengan anak anak yang menarikan barong disertai gambelan. Secara filosofis ngelawang dapat dimaknai untuk membuka pintu hati terhadap kemungkinan tanpa batas (samudera tanpa tepi) berbagai kebaikan, kebajikan dan keberlimpahan.
Pada hari Sabtu, dikenal sebagai Pemaridan Guru. Marid artinya ngelungsur/nyurud atau memohon. Siapa yang disebut Guru disini? Tentu adalah pengalaman, sehingga dengan melakukan rangakaian diatas, sejatinya merupakan laku Yoga atau penyatuan dengan melakukan meditasi (memediasi) bagian-bagian diri yang membawa pengalaman (memory) dan emosi yang dapat kita ambil hikmahnya untuk hidup dan kehidupan.
Pada Hari Minggu, dilakukan upacara Ulihan dalam kontek upakara Ulihan ditandai dengan ngeluwur atau memulangkan entitas dewata kembali ke alamnya. Dalam laku meditasi, Ulihan dimaknai sebagai memulangkan bagian-bagian diri ke posisi nya masing-masing.
Senin,Kliwon Uku Kuningan dirayakan Hari Pemacekan Agung. "Pacek" bermakna tekek atau penguatan. Dirayakan dengan mengahaturkan terima kasih kepada seluruh bagian diri. Umumnya masyarakat akan menghaturkan puja di Pura Dasar Bhuana. Apa dasar dari bhuana atau bhumi? Tanah atau Mannah (pikiran). Mantapkan pikiran. Pikiran sendiri merupakan suatu energi yang dihasilkan dari aktifitas berfikir yang berpusat di otak, namun penemuan muktahir pikiran meresap di setiap tubuh tepatnya setiap sel sehingga vibrasi pikiran merupakan pancaran energi kumulatif dari triliunan sel yang menyusun keberadaan setiap orang (Buku Biology Of Belief). Apakah Anda mengarahkannya kepada tujuan yang jelas dan positif atau sebaliknya. Pemacekan Agung menyampaikan pesan dari leluhur untuk kita memantapkan pikiran dengan sangat cerdas.
Ketika seseorang telah harmoni dengan alam (tumpek bubuh) sehat fisik dan rohani (sugihan), kemudian melakukan perjalanan ke dalam (penyekeban, penyajan, penampahan, galungan, umanis, pemaridan, ulihan) dan membulatkan tujuan di hari pemacekan agung. Apa yang akan terjadi kepada seseorang yang telah harmoni dengan diri dan mengarahkan energi kehidupannya (pemacekan agung), fokus terhadap tujuan hidup yang lebih tinggi?
Tentu sebuah terang atau cahaya bagai cahaya matahari di pagi hari yang kaya akan pro vitamin D, umat merayakan hari raya Kuningan, 10 Hari setelah Gari Raya Galungan, konon Manusia Rare telah sampai di tujuannya, yakni bertemu kesejatiannya. Kemudian dirayakan sebagai Hari raya Kuningan. Enlightening (pencerahan), dirayakan dengan melakukan puja dengan berbagai symbol senjata, perisai (tamiang, kolem, endong) dan nasi kuning tentunya. Apa maksudnya? Seseorang yang telah menemukan kesejatian ibarat seseorang yang telah memiliki senjata lengkap dalam melalui kehidupan yang paripurna, jaya, santi dan jagathita. Ia telah melampaui sekat-sekat diri yang menutupi cahaya atma yang berada di dalam diri. Keadaan telah melampaui diri dan bertemu kesejatian oleh Dalem Waturenggong, diabadikan dalam sebuah nama yakni "Sidhakarya". Lebih lanjut dapat membaca buku The Secret Message Of Dalem Sidhakarya.
Rangkain perayaan Galungan ditutup dengan perayaan Pegat Wakan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Pahang, sebulan setelah Galungan. Dirayakan dengan mencabut penjor, membakar, dan kemudian memasukkan abunya ke dalam "klungah"/(kelapa) kemudian di tanam di pekarangan di dalam tanah (manah). Filosofinya tanamlah sesuatu yang baik dalam pikiran. Banyak hal yang bisa kita ambil dari perayaan Galungan, diantaranya fakta yang baru saja terungkap bahwa setiap sel dalam tubuh selalu mati dan lahir. Misal kulit setiap 21 hari, sel darah 120 hari dan total 210 hari sekali, seluruh sel tubuh kita benar-benar baru. Itu mengapa leluhur merayakan hari raya otonan (galungan personal) dan Galungan yang kita rayakan setiap 210 hari merupakan (otonan jagat).
Jika teknologi di balik hari raya Galungan ini dipahami oleh masyarakt luas, tidak ada lagi perdebatan tentang upakara, etika semua menyatu dalan tatwa yang menuntun kita dalam kesejatian. Mohon maaf atas penuturan yang boleh dikatakan "nyeleneh" ini namun demikianlah sekiranya bila kita mau membuka diri, menghubungkan rangkaian hari raya Galungan dengan teknologi dan saint terkini. Salam Damai
Artikel Menarik Lainnya
26/05/2020
New Normal With Sidhakarya Quotient
Seorang ahli virologi menyatakan virus covid akan selalu ada sampai akhir zaman, mengharapkan virus ini leyap 100% merupakan kemustahilan. Untuk itu hidup bertampingan 7/04/2019
Transformasi diri & Sasih Kedasa
Berdasarkan hitungan kalender Bali Saka, Sasih Kedasa sering diidentikan dengan kata Dasa, jikat diterjemahkan berarti bulan ke 10 (sepuluh), 2/02/2020
Lima Resep Kuno Hadapi Serangan Virus pada Ternak Babi
Grubug akibat virus ASF, ini lima resep kuno dari leluhur Bali zaman dulu 7/04/2019
Makna Rahinan Anggara Kasih
Makna Rahinan Anggara Kasih salah satu rainan atau hari yang diistemewakan oleh masyarakat Bali, apa makna dibaliknya? 18/04/2019