BERGURU KEPADA BAYANGAN
BERGURU KEPADA BAYANGAN
Saya teringat akan suatu diskusi yang sangat dalam dengan seorang "pelukis cahaya", orang mengenalnya sebagai maestro photografi Indonesia, Darwis Triadi. Diterima dikediamannya di Jakarta, kami terlibat dalam diskusi tentang cahaya, bayangan dan lukisan. "Photo bermakna cahaya, sedangkan grafi berarti lukisan". Demikan Om Darwis, saya memanggilnya. Mengawali diskusi sembari menikmati teh aroma melati panas yang dihidangkan di meja kerja yang tampak penuh dengan kamera dan portofolio karya sang mestro.
Bayangan lahir dari cahaya. Cahaya apa? Tentu secara alami yang dimaksudkan disini adalah cahaya matahari. Demikian Om Darwis melanjutkan perbincangan tentang bayangan. Namun yang membuat saya selalu terngiang adalah pelajaran dari "bayangan" yang sekiranya perlu saya bagikan kepada kawan-kawan disini.
Alam mengajarkan bahwa bayangan berbalik dengan arah matahari. Bayangan memberitahu arah matahari dengan cara terbalik. Saat berdiri diatas bumi, dan bayangan berada di barat, berarti matahari sedang berada di timur demikian sebaliknya. Saat bayangan menghilang di bawah kaki, bayngan justru memberitahu kita bahwa matahari sedang mengambang di atas kepala. Bayangan memberitahu kita keberadaan matahri dengan cara terbalik. Tidak saja timur dan barat, atau atas dan bawah yang dibalikkan, tapi juga arah dalam dan luar.
"Yang arah dalam dan luar saya kurang paham Om", sela saya di tengah-tengah diskusi. Kemudian Om Darwis memalingkan pandangan pada sebuah sosok di Buku yang Beliau berikan kepada saya, melihat sosok pria dengan pakaian prajurit nan gagah dan perkasa, Om Darwis melanjutkan diskusi, namun kini dengan sedikit "vibrasi" yang lebih pekat. "Saat seseorang melihat bayangan orang yang telah meninggal, sebenarnya dimanakah orang itu berada?". Beliau tidak ada di hadapan mata, tapi dibelakang mata. Yang dimaksud dibelakang mata adalah pikiran. Di dalam pikiran Beliau berada dalam wujud kenangan (memory). Dari mana kenangan datang? Dari suatu jejak-jejak cahaya yang tertinggal dari setiap perbuatan, ucapan dan peristiwa yang kemudian kita mengenalnya dengan nama emosi, terhadap sosok Beliau.
Memori dan Emosi ibarat matahari dan cahayanya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sama dengan air dan basah yang selalu melekat dalam keberadaannya. Demikian pula kenangan dan jejak cahaya (emosi) bersama seseorang yang telah tiada. Intinya, bayangan mengajarkan orang membalikkan pandangan. Oleh karenanya bayangan dapat dijadikan guru kehidupan. Sebagaimana tulisan Bli Ngurah (gaya khas Om Darwis memanggil saya) dalam The Secret Message Of Dalem Sidhakarya. Bayangan dari keenam topeng mengajarkan bayangan diri seseorang. Mata yang biasa memandang ke luar, mulai memandang ke dalam. Telenga yang biasa mendengar suara dari luar, mulai mencoba mendengar topeng-topeng di dalam diri. Kulit yang biasanya merasakan sensasi di luar merasakan sensasi yang berasal dari dalam (inside), demikian seterusnya.
Guru bayangan mengajarkan dengan membalikkan pandangan maka akan dilihatlah apa yang sebelumnya tidak dilihat dengan mata yang memandang keluar. Demikian juga pengetahuan tentang Dalem Sidhakarya yang muncul dari pikiran yang diarahkan ke dalam. Milik siapakah bayangan itu? Milik matahari? Tentu bukan! Banyangan tidak ada bila tidak ada kita (benda). Bayngan milik kita (benda/metter)? Juga tidak, karena kita tidak dapat menciptakan bayangan. Bayangan juga bukan milik dirinya. Karena bayangan ada dan hilang bukan oleh dirinya, tapi kerjasama kita dengan matahari. Lalu, milik siapakah bayangan?
Bayangan adalah milik bumi. Bayangan muncul dan hilang di bumi, arah yang ditunjukkan oleh bayangan dan arah yang kita balikkan adalah arah yang ada di bumi. Sehingga berguru dengan bayangan memiliki syarat mutlak, yakni seseorang terlebih dahulu membumikan dirinya (merendahkan hati) untuk kemudian belajar dari guru bayangan.
Diakhir diskusi kami memiliki suatu kesimpulan bawasannya, berguru dengan bayangan dengan cara yang tepat dapat mengantarkan seseorang pada kesejatian diri yang justru berada di dalam diri seseorang. Itu mengapa I Gusti Ngurah Windya (Topeng Tugek Carangsari) mengatakan Topeng Pajegan Sidhakarya dalam pakem tradisional selalu dimulai dengan Topeng Keras yang merupakan evolusi dari elemen api (matahari) dan berakhir dengan Topeng Dalem Sidhakarya, bayangan dari seseorang yang telah selesai dengan dirinya (sidha), sakti dalam arti memiliki kompetensi tinggi (sidhi), bijaksana (sadhu), suci dan bersih hatinya (sudha) dan telah menanggalkan berbagai ego atau jejak-jejak kenangan yang tidak kontruktif (sedha). Desiran angin dari arah timur, beriringan dengan tegukan terakhir teh aroma melati mengisyaratkan untuk kemudian kami undur diri dari kediaman Om Darwis dan merenungkan isi diskusi dari Guru bayangan. Bagaimana dengan Guru cahaya? Mungkin bukan dalam artikel ini, semoga selanjutnya "dia" berkenan ditulis pada kesempatan berikutnya*
Saya teringat akan suatu diskusi yang sangat dalam dengan seorang "pelukis cahaya", orang mengenalnya sebagai maestro photografi Indonesia, Darwis Triadi. Diterima dikediamannya di Jakarta, kami terlibat dalam diskusi tentang cahaya, bayangan dan lukisan. "Photo bermakna cahaya, sedangkan grafi berarti lukisan". Demikan Om Darwis, saya memanggilnya. Mengawali diskusi sembari menikmati teh aroma melati panas yang dihidangkan di meja kerja yang tampak penuh dengan kamera dan portofolio karya sang mestro.
Bayangan lahir dari cahaya. Cahaya apa? Tentu secara alami yang dimaksudkan disini adalah cahaya matahari. Demikian Om Darwis melanjutkan perbincangan tentang bayangan. Namun yang membuat saya selalu terngiang adalah pelajaran dari "bayangan" yang sekiranya perlu saya bagikan kepada kawan-kawan disini.
Alam mengajarkan bahwa bayangan berbalik dengan arah matahari. Bayangan memberitahu arah matahari dengan cara terbalik. Saat berdiri diatas bumi, dan bayangan berada di barat, berarti matahari sedang berada di timur demikian sebaliknya. Saat bayangan menghilang di bawah kaki, bayngan justru memberitahu kita bahwa matahari sedang mengambang di atas kepala. Bayangan memberitahu kita keberadaan matahri dengan cara terbalik. Tidak saja timur dan barat, atau atas dan bawah yang dibalikkan, tapi juga arah dalam dan luar.
"Yang arah dalam dan luar saya kurang paham Om", sela saya di tengah-tengah diskusi. Kemudian Om Darwis memalingkan pandangan pada sebuah sosok di Buku yang Beliau berikan kepada saya, melihat sosok pria dengan pakaian prajurit nan gagah dan perkasa, Om Darwis melanjutkan diskusi, namun kini dengan sedikit "vibrasi" yang lebih pekat. "Saat seseorang melihat bayangan orang yang telah meninggal, sebenarnya dimanakah orang itu berada?". Beliau tidak ada di hadapan mata, tapi dibelakang mata. Yang dimaksud dibelakang mata adalah pikiran. Di dalam pikiran Beliau berada dalam wujud kenangan (memory). Dari mana kenangan datang? Dari suatu jejak-jejak cahaya yang tertinggal dari setiap perbuatan, ucapan dan peristiwa yang kemudian kita mengenalnya dengan nama emosi, terhadap sosok Beliau.
Memori dan Emosi ibarat matahari dan cahayanya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sama dengan air dan basah yang selalu melekat dalam keberadaannya. Demikian pula kenangan dan jejak cahaya (emosi) bersama seseorang yang telah tiada. Intinya, bayangan mengajarkan orang membalikkan pandangan. Oleh karenanya bayangan dapat dijadikan guru kehidupan. Sebagaimana tulisan Bli Ngurah (gaya khas Om Darwis memanggil saya) dalam The Secret Message Of Dalem Sidhakarya. Bayangan dari keenam topeng mengajarkan bayangan diri seseorang. Mata yang biasa memandang ke luar, mulai memandang ke dalam. Telenga yang biasa mendengar suara dari luar, mulai mencoba mendengar topeng-topeng di dalam diri. Kulit yang biasanya merasakan sensasi di luar merasakan sensasi yang berasal dari dalam (inside), demikian seterusnya.
Guru bayangan mengajarkan dengan membalikkan pandangan maka akan dilihatlah apa yang sebelumnya tidak dilihat dengan mata yang memandang keluar. Demikian juga pengetahuan tentang Dalem Sidhakarya yang muncul dari pikiran yang diarahkan ke dalam. Milik siapakah bayangan itu? Milik matahari? Tentu bukan! Banyangan tidak ada bila tidak ada kita (benda). Bayngan milik kita (benda/metter)? Juga tidak, karena kita tidak dapat menciptakan bayangan. Bayangan juga bukan milik dirinya. Karena bayangan ada dan hilang bukan oleh dirinya, tapi kerjasama kita dengan matahari. Lalu, milik siapakah bayangan?
Bayangan adalah milik bumi. Bayangan muncul dan hilang di bumi, arah yang ditunjukkan oleh bayangan dan arah yang kita balikkan adalah arah yang ada di bumi. Sehingga berguru dengan bayangan memiliki syarat mutlak, yakni seseorang terlebih dahulu membumikan dirinya (merendahkan hati) untuk kemudian belajar dari guru bayangan.
Diakhir diskusi kami memiliki suatu kesimpulan bawasannya, berguru dengan bayangan dengan cara yang tepat dapat mengantarkan seseorang pada kesejatian diri yang justru berada di dalam diri seseorang. Itu mengapa I Gusti Ngurah Windya (Topeng Tugek Carangsari) mengatakan Topeng Pajegan Sidhakarya dalam pakem tradisional selalu dimulai dengan Topeng Keras yang merupakan evolusi dari elemen api (matahari) dan berakhir dengan Topeng Dalem Sidhakarya, bayangan dari seseorang yang telah selesai dengan dirinya (sidha), sakti dalam arti memiliki kompetensi tinggi (sidhi), bijaksana (sadhu), suci dan bersih hatinya (sudha) dan telah menanggalkan berbagai ego atau jejak-jejak kenangan yang tidak kontruktif (sedha). Desiran angin dari arah timur, beriringan dengan tegukan terakhir teh aroma melati mengisyaratkan untuk kemudian kami undur diri dari kediaman Om Darwis dan merenungkan isi diskusi dari Guru bayangan. Bagaimana dengan Guru cahaya? Mungkin bukan dalam artikel ini, semoga selanjutnya "dia" berkenan ditulis pada kesempatan berikutnya*
Artikel Menarik Lainnya
2/08/2019
11 Tangga Pencerahan Di Balik Hari Raya Galungan
Setiap 210 hari, masyarakat Bali, merayakan hari raya Galungan & Kuningan. Suatu ketika saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, mengapa di Bali merayakan hari Raya Galungan. 7/04/2019
Engkeb-engkeban
Engkeb-engkeban merupakan permainan tradisional yang sampai saat ini masih lestari dimasyarakat, 31/10/2019
EMPTINESS DANCING
Emptiness Dancing merupakan suatu tarian sakral, tarian mistis para kawi wiku. Tarian yang muncul dari kedalaman jiwa seseorang yang telah melalui semua dinamika kehidupan 6/04/2020
Era Baru Dunia Kedokteran Setelah COVID-19
Kedokteran Terintegrasi merupakan gabungan antara kodokteran konvensional dengan pengobatan komplementer. T 15/04/2020