manusia terbalik

Manusia Terbalik

Normalnya seorang manusia lahir ke dunia dengan posisi terbalik saat melalui pintu kelahiran dari seorang ibu yang mengandung normal. Posisi janin dikatakan normal bila kepala sebagai bagian yang keras karena terlindung tulang tengkorak berada di bawah dan bokong atau kaki (bagian yang lebih lunak) berada di atas, saat berada di dalam kandungan. Namun jika dipandang dari posisi manusia yang telah lahir dan bisa berdiri (ngadeg) maka posisi bayi saat dilahirkan disebut sungsang dari perspektif manusia normal. Sedangkan istilah sungsang dalam kandungan berarti posisi bayi dimana kepala diatas dan bokong di bawah. 

Dalam artikel ini, karena kita meneliti posisi normal, kita sepakati sungsang adalah posisi manusia yang kepalanya di bawah dan kakinya diatas, sedangkan kebalikannya disebut "ngadeg". Saat mengikuti pelatihan Quantum Life Transformation di tahun 2015, saya kaget sekali karena di awal pelatihan , penyaji dalam hal ini DR.Adi W Gunawan.,CCH mengajak peserta untuk mengisi berapa sisa usia Anda. Dengan rumusan sebagai berikut.

Dalam sastra yang ditulis oleh ahli wariga, jatah usia seseorang dihitung dengan rumusan sebagai berikut.

(urip pancawara + urip saptawara) x 6 = jatah usia. 

Urip Panca wara; Umanis (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4), Kliwon (8).
Urip Sapta wara; Redite/Minggu (5), Soma/Senin (4), Anggara/Selasa (3), Budha/Rabu (7), Wraspati/Kamis (8), Sukra/Jumat (6), Saniscara/Sabtu (9).

Misal seseorang yang lahir pada Anggara Paing, diperkirakan memiliki jatah usia dengan perhitungan sebagai berikut :

(Paing (9) + Anggara (3)x6 = 82 tahun, demikian seterusnya. Perjalanan menempuh umur dalam tradisi Bali dikenal dengan istilah "nutug tuwuh", nutug berarti mengikuti sedangkan tuwuh berarti umur. Pada kenyataannya ini hanya sebuah "ide" yang ditulis berdasarkan statistika pengamatan dari leluhur yang didalami oleh ahli wariga. Banyak yang meninggal sebelum waktunya, maka orang yang seperti ini disebut "tidak nutug tuwuh", demikian sebaliknya orang yang perkiraan usianya hanya 42 tahun namun meninggal pada usia 55 tahun , dikatakan orang ini melewati tugtug tuwuh. 

Berbeda lagi dengan ahli Tatwa, menghitung panjang pendek usia tergantung dari tujuan manusia melakukan perjalanan panjang menenpuh usia. Filosofisnya, menempuh usia adalah suatu pemujaan kepada Sang Hidup, dalam bahasa Bali diistilahkan sebagai nyungsung urip. Siapa atau apakah yang disebut Yang Hidup atau Hyang Urip itu? Mengapa Yang Hidup itu di puja?

Shastra menjelaskan bahwa "IA" Yang Hidup tidak dapat dipikirkan. Para Kawi Wiku mencarinya secara mistis di antara nafas masuk dan nafas keluar, di antara kesadaran tidur dengan kesadaran jaga, di antara rasa lupa dan rasa ingat. Kesimpulannya "IA" atau Yang Hidup berada di antara "ITU". 

Belajar dari manusia terbalik, memberikan kita peringatan untuk membalikkan kesadaran "sungsang", dari kesadaran insani menjadi kesadaran ilahi, dari lupa menuju ingat dan puncak proses pembalikan adalah suatu kondisi yang disebut "Prayoga Shandi". Prayoga artinya berarti pelaksanaan dari ajaran yoga. Sandi berarti pertautan, persekutuan, dan peleburan. Apa yang bersekutu, bertaut dan atau melebur? Antara "IA" yang mencari dan "IA" yang dicari, antara pemuja dengan yang di puja, antara kawula dan gusti. Pada level inilah kemudian istilah Tat Twam Asi relevan dibicarakan. 

Belajar dari manusia terbalik, mengingatkan kita saat lahir, manusia dari perut ibu, saat meninggal, manusia berbalik masuk ke perut ibu pertiwi. Kembali kepertanyaan awal, seberapa lama usia Anda? Saya memilih menggunakan pola pikir ahli tatwa, dimana usia berbanding terbalik dengan tujuan hidup. Dengan pola ini manusia dapat hidup selamanya, contoh para wiku kawi seperti Bhagawad Vyasa, Albert Einstein, Ir. Suekarno, Mahattma Gandi, I Gusti Ngurah Rai, semua menjadi abadi dengan karya nyata yang telah dijadikan shastra atau dishastrakan oleh keturunannya. Lalu kemudian sebagai pengingat lembut kepada diri sendiri,saya kemudian bertanya kepada diri,"ingin hidup berapa lama? dan dikenal sebagai apa?

Pertanyaan ini kemudian menjadikan saya teringat akan waktu yang terus berlalu, tanpa bisa kembali lagi, pilihannya hanya dua yakni berkarya untuk tujuan yang lebih tinggi atau tutup usia sebagai manusia biasa. Dengan mind frame seperti ini, tidak lagi kita membutuhkan pembenaran, status atau suatu pusat pemujaan. Karena sebagaimana shastra mengungkapkan, "IA" berada ditengah-tengah yang "ITU"







Artikel Menarik Lainnya


15/06/2020
filosofi hujan

FILOSOFI HUJAN Tatanan Hidup Baru Sesuai Kehendak Alam

Kita sering melihat dan menyaksikan hujan turun, namun kita lupa untuk membaca pesan kosmis yang dikirm melalui hujan, semoga tulisan ini dapat menjadi teman dalam merenung
Selengkapnya
2/02/2020
Grubug

Lima Resep Kuno Hadapi Serangan Virus pada Ternak Babi

Grubug akibat virus ASF, ini lima resep kuno dari leluhur Bali zaman dulu
Selengkapnya
31/10/2019
APACHE DANCING

EMPTINESS DANCING

Emptiness Dancing merupakan suatu tarian sakral, tarian mistis para kawi wiku. Tarian yang muncul dari kedalaman jiwa seseorang yang telah melalui semua dinamika kehidupan
Selengkapnya
4/05/2019
Catus Pata

''Catus Pata'' Simpul Energi Alam

Persimpangan jalan di kawasan kota kerap menjadi spot yang unik karena dihiasi taman atau beragam patung
Selengkapnya
18/04/2019
Saput Poleng

Beringin ''Mesaput Poleng''

Di Bali, hampir setiap sudut mata memandang kain ''poleng'' ada di mana-mana. Baik di depan rumah, di pura, ataupun di pinggir-pinggir jalan.
Selengkapnya
7/04/2019
Mememan

'Mememan' dan Purifikasi Diri

Mememan atau berendam memiliki makna dan kearifan lokal yang terbukti secara ilmiah bermanfaat untuk kesehatan
Selengkapnya