''Catus Pata'' Simpul Energi Alam
''Catus Pata'' Simpul Energi Alam
Persimpangan jalan di kawasan kota kerap menjadi spot yang unik karena dihiasi taman atau beragam patung. Namun, ada persimpangan jalan tertentu di Bali dikeramatkan karena dijadikan sebagai areal yang disucikan.
Perempatan jalan tersebut biasanya disebut dengan Pempatan Agung atau Catus Pata. Di tengahnya berisi palinggih tempat pemujaan. Di palinggih inilah biasanya umat menghaturkan banten atau canang sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan atau mohon perlindungan ketika hendak bepergian jauh.
Keberadaan Catus Pata bisa dibilang sebagai pusat dari sebuah wilayah. Oleh karena itu, kawasan ini biasanya senantiasa ramai karena banyaknya orang yang berlalu lalang atau bermukim. Penetapan Catus Pata tidak serta merta begitu saja, melainkan pada zaman dahulu ditetapkan oleh Raja atas petunjuk Bhagawanta. Hal ini selain dari sisi nilai strategis, namun secara niskala, Catus Pata dianggap sebagai titik yang sakral.
Di Catus Pata biasanya akan dilakukan prosesi ngider bhuwana, yakni prosesi mengitari palinggih di Catus Pata tersebut. Umumnya dibagi menjadi dua macam, pertama, Purwa Daksina, yakni arah berputarnya ke kanan sesuai kata purwa yang berarti timur dan daksina yang berarti selatan. Purwa daksina adalah simbol penciptaan, panguripan (penghidupan), penghormatan atau “peningkatan status” pada dewa, manusia, atau pitara dalam berbagai upacara. Sedangkan yang kedua adalah Prasawya atau pasawya-sawya yang berarti kanan ke kiri. Prasawaya adalah kebalikan dari purwa daksina, yakni mengitari dari kanan ke kiri. Hal ini merupakan simbol peleburan.
Di Kota Klungkung ada titik sentral persimpangan empat yang sampai sekarang masih disakralkan. Akan tetapi, masyarakat setempat belum mengenal betul penamaan yang tepat untuk patung yang ada di persimpangan ini, ada yang menyebutnya ''Pempatan Agung'', ada juga yang menamai ''Catur Muka''. Lantas, bagaimanakah sejarah terkait penamaan yang tepat untuk obyek ini?
Nama asli patung yang menjadi ikon Kabupaten Klungkung sebenarnya adalah Patung Kanda Pat Sari. Karya nan sakral tersebut diarsiteki oleh maestro perundagian Ida Bagus Tugur, seorang putra kelahiran Geria Cucukan Klungkung tahun 1926, beliau juga mendesain bangunan ''metaksú'' lainnya seperti Taman Budaya Panggung Terbuka Arda Chandra Art Center Denpasar.
Patung Kanda Pat Sari karya beliau mengambil filosofi “Catur Sanak” bersama-sama memperoleh makna dari mitologi tentang air suci yang berasal dari “Sindu Rahasia Muka”. Patung ini berlatar kisah tentang keempat “saudara” manusia saat lahir yakni ;
1. Ari-ari (Sang Anta),
2. Tali pusar (Sang Preta),
3. Darah (Sang Kala),
4. Air nyom (Sang Dengen),
Usai mendapat anugerah berganti nama menjadi Sang Anggapati (Bhagawan Penyarikan) berkedudukan di timur, Sang Prajapati (Bhagawan Mrcukunda) di selatan, Sang Banaspati (Bhagawan Sindu Pati) di barat dan Sang Banaspatiraja (Bhagawan Tatul) di utara.
Kanda Pat Sari memiliki arti yakni empat saudara yang sudah memiliki suatu kekuatan murni dari unsur-unsur yang memberikan kebahagiaan dalam kehidupan.
Meski sering disamakan, filosofi antara Catur Muka dan Kanda Pat Sari sebenarnya sangatlah berbeda. Catur muka memiliki arti yaitu bermuka empat yang dimiliki oleh Bhatara Brahma. Sedangkan Kanda Pat Sari adalah empat saudara dalam kehidupan manusia. Dari aspek pendidikan, Kanda Pat Sari di pempatan ini kurang lebih bermakna agar masyarakat senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antar sesama (nyatur desa), terciptanya keselarasan, keseimbangan baik secara vertikal maupun horizontal serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi keberagamaan adat istiadat dan budaya.
Persimpangan jalan di kawasan kota kerap menjadi spot yang unik karena dihiasi taman atau beragam patung. Namun, ada persimpangan jalan tertentu di Bali dikeramatkan karena dijadikan sebagai areal yang disucikan.
Perempatan jalan tersebut biasanya disebut dengan Pempatan Agung atau Catus Pata. Di tengahnya berisi palinggih tempat pemujaan. Di palinggih inilah biasanya umat menghaturkan banten atau canang sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan atau mohon perlindungan ketika hendak bepergian jauh.
Keberadaan Catus Pata bisa dibilang sebagai pusat dari sebuah wilayah. Oleh karena itu, kawasan ini biasanya senantiasa ramai karena banyaknya orang yang berlalu lalang atau bermukim. Penetapan Catus Pata tidak serta merta begitu saja, melainkan pada zaman dahulu ditetapkan oleh Raja atas petunjuk Bhagawanta. Hal ini selain dari sisi nilai strategis, namun secara niskala, Catus Pata dianggap sebagai titik yang sakral.
Di Catus Pata biasanya akan dilakukan prosesi ngider bhuwana, yakni prosesi mengitari palinggih di Catus Pata tersebut. Umumnya dibagi menjadi dua macam, pertama, Purwa Daksina, yakni arah berputarnya ke kanan sesuai kata purwa yang berarti timur dan daksina yang berarti selatan. Purwa daksina adalah simbol penciptaan, panguripan (penghidupan), penghormatan atau “peningkatan status” pada dewa, manusia, atau pitara dalam berbagai upacara. Sedangkan yang kedua adalah Prasawya atau pasawya-sawya yang berarti kanan ke kiri. Prasawaya adalah kebalikan dari purwa daksina, yakni mengitari dari kanan ke kiri. Hal ini merupakan simbol peleburan.
Di Kota Klungkung ada titik sentral persimpangan empat yang sampai sekarang masih disakralkan. Akan tetapi, masyarakat setempat belum mengenal betul penamaan yang tepat untuk patung yang ada di persimpangan ini, ada yang menyebutnya ''Pempatan Agung'', ada juga yang menamai ''Catur Muka''. Lantas, bagaimanakah sejarah terkait penamaan yang tepat untuk obyek ini?
Nama asli patung yang menjadi ikon Kabupaten Klungkung sebenarnya adalah Patung Kanda Pat Sari. Karya nan sakral tersebut diarsiteki oleh maestro perundagian Ida Bagus Tugur, seorang putra kelahiran Geria Cucukan Klungkung tahun 1926, beliau juga mendesain bangunan ''metaksú'' lainnya seperti Taman Budaya Panggung Terbuka Arda Chandra Art Center Denpasar.
Patung Kanda Pat Sari karya beliau mengambil filosofi “Catur Sanak” bersama-sama memperoleh makna dari mitologi tentang air suci yang berasal dari “Sindu Rahasia Muka”. Patung ini berlatar kisah tentang keempat “saudara” manusia saat lahir yakni ;
1. Ari-ari (Sang Anta),
2. Tali pusar (Sang Preta),
3. Darah (Sang Kala),
4. Air nyom (Sang Dengen),
Usai mendapat anugerah berganti nama menjadi Sang Anggapati (Bhagawan Penyarikan) berkedudukan di timur, Sang Prajapati (Bhagawan Mrcukunda) di selatan, Sang Banaspati (Bhagawan Sindu Pati) di barat dan Sang Banaspatiraja (Bhagawan Tatul) di utara.
Kanda Pat Sari memiliki arti yakni empat saudara yang sudah memiliki suatu kekuatan murni dari unsur-unsur yang memberikan kebahagiaan dalam kehidupan.
Meski sering disamakan, filosofi antara Catur Muka dan Kanda Pat Sari sebenarnya sangatlah berbeda. Catur muka memiliki arti yaitu bermuka empat yang dimiliki oleh Bhatara Brahma. Sedangkan Kanda Pat Sari adalah empat saudara dalam kehidupan manusia. Dari aspek pendidikan, Kanda Pat Sari di pempatan ini kurang lebih bermakna agar masyarakat senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antar sesama (nyatur desa), terciptanya keselarasan, keseimbangan baik secara vertikal maupun horizontal serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi keberagamaan adat istiadat dan budaya.
Artikel Menarik Lainnya
11/04/2020
Manusia Setengah dan Lima Metode Olah Diri Menjadi Manusia Paripurna
Manusia setengah merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan manusia yang menyukai pengakuan, pecicilan menunjukkan kemampuan, haus pujian dengan berbagau upaya 26/07/2019
BERGURU KEPADA BAYANGAN
Berguru kepada bayangan intinya adalah ilmu membalikkan pandangan. Bayangan mengajar dengan menunjukkan kebalikkannya 7/04/2019
'Mememan' dan Purifikasi Diri
Mememan atau berendam memiliki makna dan kearifan lokal yang terbukti secara ilmiah bermanfaat untuk kesehatan 7/04/2019
Benarkah Bersepeda Bisa Bikin Mandul?
Bersepeda merupakan olahraga yang paling digandurungi masyarakat saat ini, namun benarkah bersepeda menyebabkan mandul? 7/04/2019