Filosofi Tersembunyi dari Tumpek Wayang
Berdasarkan perhitungan kalender Bali, Tumpek Wayang adalah salah satu hari raya suci yang jatuh setiap 6 bulan atau 210 hari sekali, tepatnya di hari Saniscara (Sabtu) Kliwon wuku Wayang. Pada perayaan Tumpek Wayang, masyarakat Bali khususnya yang berprofesi sebagai dalang wajib menghaturkan berbagai upakara sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.
Secara lahir, Tumpek Wayang merupakan bentuk permohonan bagi mereka yang menjalani profesi pewayangan sehingga dapat menjadi dalang ‘’Metaksu’’ yang mampu menjembatani alam wayang yang abstrak ke dalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-nilai tuntunannya.
Secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang manusia disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan sebuah panggung wayang. Keberadaan serta peranan yang didapat dan dilakukan dan ke mana akhirnya tujuan sudah diatur, ditentukan oleh sang Dalang Agung yakni Hyang Widi.
Wayang mendapat posisi terhormat dalam kebudayaaan Nusantara. Wayang menjadi salah satu sarana "pembebasan" diri. Di kalangan masyarakat, wayang juga memiliki fungsi ruwat. Terlebih lagi di Bali, wayang menjadi sarana penyucian yang penting. Begitu juga anak yang lahir pada wuku Wayang akan di-bayuh dengan tirtha panglukatan wayang serta diupacarai khusus kemudian dikenal dengan bayuh sapuh leger.
Kelir wayang merupakan simbol ruang, alam permukaan bumi sebagai lambang badan jasmani yang akan menampakkan bayangan hari dan menggambarkan gejolak Tri Guna. Lampu belencong melambangkan matahari yaitu sinar hidup yang terpancar dari Hyang Widhi dan juga merupakan sinarnya Jiwatman yang memberikan sinar kepada Tri Guna. Dalang merupakan simbol dari bayangan Hyang Widhi yang berkuasa atas segala tokoh dan peran yang dimainkan manusia. Dalang juga merupakan jiwatma yang memberikan sinar/kekuatan hidup.
Wayang sendiri tidak lain sebagai lambang dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya, masing-masing menjalani proses lahir, hidup dan mati sesuai kehendak-Nya. Gedong (tempat wayang) sendiri merupakan simbol Tri Kona (lahir, hidup, mati). Gender yang mengiringi pementasan wayang merupakan simbolik irama dinamis dari perjalanan zaman.
Tumpek Wayang juga sejatinya mengajak umat untuk selalu bercermin pada wayang dengan segala tokoh dan perannya. Apakah kita seperti Dharmawangsa, Arjuna, Bima atau masih seperti Sekuni, Duryadana. Bercermin pada wayang itu penting untuk memperbaiki citra diri. Dengan menonton wayang sesungguhnya dapat menonton diri kita, dapat menghadirkan diri. Pertempuran antara Rama dengan Rahwana, Pandawa dengan Korawa, sesungguhnya adalah pertempuran yang terjadi dalam diri yang tak henti-hentinya.
Secara lahir, Tumpek Wayang merupakan bentuk permohonan bagi mereka yang menjalani profesi pewayangan sehingga dapat menjadi dalang ‘’Metaksu’’ yang mampu menjembatani alam wayang yang abstrak ke dalam alam nyata melalui pementasan tokoh-tokoh pewayangan yang dipertontonkan untuk diambil nilai-nilai tuntunannya.
Secara batin, melalui perayaan Tumpek Wayang manusia disadarkan bahwa hidup ini sebenarnya merupakan sebuah panggung wayang. Keberadaan serta peranan yang didapat dan dilakukan dan ke mana akhirnya tujuan sudah diatur, ditentukan oleh sang Dalang Agung yakni Hyang Widi.
Wayang mendapat posisi terhormat dalam kebudayaaan Nusantara. Wayang menjadi salah satu sarana "pembebasan" diri. Di kalangan masyarakat, wayang juga memiliki fungsi ruwat. Terlebih lagi di Bali, wayang menjadi sarana penyucian yang penting. Begitu juga anak yang lahir pada wuku Wayang akan di-bayuh dengan tirtha panglukatan wayang serta diupacarai khusus kemudian dikenal dengan bayuh sapuh leger.
Kelir wayang merupakan simbol ruang, alam permukaan bumi sebagai lambang badan jasmani yang akan menampakkan bayangan hari dan menggambarkan gejolak Tri Guna. Lampu belencong melambangkan matahari yaitu sinar hidup yang terpancar dari Hyang Widhi dan juga merupakan sinarnya Jiwatman yang memberikan sinar kepada Tri Guna. Dalang merupakan simbol dari bayangan Hyang Widhi yang berkuasa atas segala tokoh dan peran yang dimainkan manusia. Dalang juga merupakan jiwatma yang memberikan sinar/kekuatan hidup.
Wayang sendiri tidak lain sebagai lambang dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya, masing-masing menjalani proses lahir, hidup dan mati sesuai kehendak-Nya. Gedong (tempat wayang) sendiri merupakan simbol Tri Kona (lahir, hidup, mati). Gender yang mengiringi pementasan wayang merupakan simbolik irama dinamis dari perjalanan zaman.
Tumpek Wayang juga sejatinya mengajak umat untuk selalu bercermin pada wayang dengan segala tokoh dan perannya. Apakah kita seperti Dharmawangsa, Arjuna, Bima atau masih seperti Sekuni, Duryadana. Bercermin pada wayang itu penting untuk memperbaiki citra diri. Dengan menonton wayang sesungguhnya dapat menonton diri kita, dapat menghadirkan diri. Pertempuran antara Rama dengan Rahwana, Pandawa dengan Korawa, sesungguhnya adalah pertempuran yang terjadi dalam diri yang tak henti-hentinya.
Artikel Menarik Lainnya
19/07/2020
5 Fase Pergeseran Tumpek Landep
Era prasejarah, era agraris, era industri, era konseptual, era covid19 menjadi saksi dalam perkembangan ritual tumpek landep. Dalam setiap era memiliki pusaka masing-masing 6/04/2020
Era Baru Dunia Kedokteran Setelah COVID-19
Kedokteran Terintegrasi merupakan gabungan antara kodokteran konvensional dengan pengobatan komplementer. T 7/04/2019
Filosofi Di Balik Gerakan Tari Rejang
Tari adalah bentuk ekspresi estetika manusia, yang terbentuk dari dinamika budaya lokal yang mengiringinya. 11/04/2020
Manusia Setengah dan Lima Metode Olah Diri Menjadi Manusia Paripurna
Manusia setengah merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan manusia yang menyukai pengakuan, pecicilan menunjukkan kemampuan, haus pujian dengan berbagau upaya 6/04/2020