Ibu Kota Negara Republik Indonesia Dulu, Kini & Nanti
Perpindahan Ibu kota menjadi sebuah perbincangan hangat baik di tingkat Nasional maupun Daerah, termasuk dari peserta meditasi kesehatan Sidhakarya yang secara rutin bertemu setiap hari kamis, untuk berlatih bersama dan bertukar pikiran.
Secara konstitusional, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Jakarta telah menjadi pusat pemerintahan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda.
Tapi, tahukah Anda sebelum era pemerintahan seperti sekarang ini, Indonesia memiliki perjalan historis yang amat panjang dalam hal letak Ibu Kota. Dari zaman Nusantara dimulai dari masa Kerajaan Kutai Martadipura hingga perjuangan yang dilakukan setelah kemerdekaan.
Seperti yang telah tercatat dalam sejarah, kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Diperkirakan, kerajaan kutai muncul pada abad 5 M atau ± 400 M. Kerajaan tersebut dibangun pada abad ke-4, dengan bukti ditemukannya tujuh buah prasasti Yupa. Terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur atau dekat kota Tenggarong, di hulu sungai Mahakam, menjadikanya lokasi yang sangat strategis mengawali kejayaan peradaban Nusantara, dengan Kutai sebagai Ibu Kota perdana.
Setelah kejayaan Kutai berangsur menurun, munculah kerajaan-kerajaan lain mengakibatkan Nusantara yang mulanya satu kesatuan terpecah ke setiap penjuru, kemudian melahirkan Sriwijaya, Tarumanegara, Singasari, Majapahit, sampai akhirnya Demak. Titik hitam pun diawali dengan pertumpahan darah dari masing-masing kerajaan melawan kerajaan lainnya berkat campur tangan politik adu domba penjajah.
Perjuangan pergerakan rakyat Nusantara dalam meraih kemerdekaan memang banyak rintangan. Begitu pun dalam urusan Ibu Kota. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta (17 Agustus 1945) di Jalan Pegangsaan Timur, menjadikan kota Jakarta dipilih sebagai ibu kota Republik Indonesia secara De Facto.
Awal tahun 1946 menjadi tahun yang kurang beruntung bagi Indonesia. Jakarta telah diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sehingga ibu kota negara harus dipindahkan ke Yogyakarta. Ironisnya, pemerintah Republik Indonesia melakukan pemindahan secara diam-diam pada tengah malam dengan menggunakan kereta api.
Tidak hanya itu, di penghujung tahun, tepatnya di bulan Desember 1948, kota Yogyakarta diserang oleh pasukan militer Belanda ( Agresi Militer Belanda II ), sehingga Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan di Pulau Bangka. Sjafruddin Prawiranegara mendapat amanat untuk membentuk pemerintahan darurat di Bukit tinggi yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan amanat pemerintahan negara dan membubarkan PDRI secara resmi pada 13 Juli 1949. Yogyakarta kemudian kembali menjadi ibu kota Republik Indonesia, yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk pada 27 Desember 1949.
RIS akhirnya dibubarkan tepat di hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1949, mengawali lembaran baru Nusantara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kota Jakarta secara De Jure kemudian menjadi ibu kota Indonesia dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1961. Status sebagai ibu kota negara tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964.
Jika kita amati roda putaran waktu (cakra manggilingan), maka perpindahan ibi kota kembali ke pulau Kalimantan tepatnya di Kutai Kertanegara, merupakan sebuah awal kembalinya kejayaan Nusantara ke zaman Kerta Yuga. Dalam Shastra, zaman kerta yuga merupakan zaman keemasan, dimana masyarakat hidup rukun berdampingan satu sama lain dalam kebhinekaan, hasil bumi melimpah, gemah ripah loh jinawi, masyarakat adil makmur, sehat sentosa.
Jika kita ingin melakukan revolusi mental, maka elemen mental (elemental) yang terkait dengan kota Jakarta saat ini, yakni kota perjuangan, penghianatan, penjarahan, pembakaran, pembantaian masal terjadi dal lain sebagainya. Menjadikan pemikiran dan ide memindahkan ibu kota menjadi sangat relevan.
Jika Anda penat, jenuh dan sudah tidak lagi bisa berkembang, apa yang Anda perlukan? Yup Anda perlu suasana baru, tantangan baru dan ekosistem baru, apalagi tempat yang dipilih merupakan pilihan para Rsi dari India yang melihat Kuati sebagai tempat yang sangat stategis sebagai pulau terbesar di Indonesia, tentu akan sangat aman dari goncangan gempa, terlebih posisi kota berada di barat dari sulawesi menjadikan kota ini sangat aman dari ancaman tzunami, berbeda dengan jakarta yang langsung menghadap ke samudera.
Secara konstitusional, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Jakarta telah menjadi pusat pemerintahan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda.
Tapi, tahukah Anda sebelum era pemerintahan seperti sekarang ini, Indonesia memiliki perjalan historis yang amat panjang dalam hal letak Ibu Kota. Dari zaman Nusantara dimulai dari masa Kerajaan Kutai Martadipura hingga perjuangan yang dilakukan setelah kemerdekaan.
Seperti yang telah tercatat dalam sejarah, kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Diperkirakan, kerajaan kutai muncul pada abad 5 M atau ± 400 M. Kerajaan tersebut dibangun pada abad ke-4, dengan bukti ditemukannya tujuh buah prasasti Yupa. Terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur atau dekat kota Tenggarong, di hulu sungai Mahakam, menjadikanya lokasi yang sangat strategis mengawali kejayaan peradaban Nusantara, dengan Kutai sebagai Ibu Kota perdana.
Setelah kejayaan Kutai berangsur menurun, munculah kerajaan-kerajaan lain mengakibatkan Nusantara yang mulanya satu kesatuan terpecah ke setiap penjuru, kemudian melahirkan Sriwijaya, Tarumanegara, Singasari, Majapahit, sampai akhirnya Demak. Titik hitam pun diawali dengan pertumpahan darah dari masing-masing kerajaan melawan kerajaan lainnya berkat campur tangan politik adu domba penjajah.
Perjuangan pergerakan rakyat Nusantara dalam meraih kemerdekaan memang banyak rintangan. Begitu pun dalam urusan Ibu Kota. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta (17 Agustus 1945) di Jalan Pegangsaan Timur, menjadikan kota Jakarta dipilih sebagai ibu kota Republik Indonesia secara De Facto.
Awal tahun 1946 menjadi tahun yang kurang beruntung bagi Indonesia. Jakarta telah diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sehingga ibu kota negara harus dipindahkan ke Yogyakarta. Ironisnya, pemerintah Republik Indonesia melakukan pemindahan secara diam-diam pada tengah malam dengan menggunakan kereta api.
Tidak hanya itu, di penghujung tahun, tepatnya di bulan Desember 1948, kota Yogyakarta diserang oleh pasukan militer Belanda ( Agresi Militer Belanda II ), sehingga Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan di Pulau Bangka. Sjafruddin Prawiranegara mendapat amanat untuk membentuk pemerintahan darurat di Bukit tinggi yang dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara mengembalikan amanat pemerintahan negara dan membubarkan PDRI secara resmi pada 13 Juli 1949. Yogyakarta kemudian kembali menjadi ibu kota Republik Indonesia, yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk pada 27 Desember 1949.
RIS akhirnya dibubarkan tepat di hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1949, mengawali lembaran baru Nusantara sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kota Jakarta secara De Jure kemudian menjadi ibu kota Indonesia dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1961. Status sebagai ibu kota negara tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964.
Jika kita amati roda putaran waktu (cakra manggilingan), maka perpindahan ibi kota kembali ke pulau Kalimantan tepatnya di Kutai Kertanegara, merupakan sebuah awal kembalinya kejayaan Nusantara ke zaman Kerta Yuga. Dalam Shastra, zaman kerta yuga merupakan zaman keemasan, dimana masyarakat hidup rukun berdampingan satu sama lain dalam kebhinekaan, hasil bumi melimpah, gemah ripah loh jinawi, masyarakat adil makmur, sehat sentosa.
Jika kita ingin melakukan revolusi mental, maka elemen mental (elemental) yang terkait dengan kota Jakarta saat ini, yakni kota perjuangan, penghianatan, penjarahan, pembakaran, pembantaian masal terjadi dal lain sebagainya. Menjadikan pemikiran dan ide memindahkan ibu kota menjadi sangat relevan.
Jika Anda penat, jenuh dan sudah tidak lagi bisa berkembang, apa yang Anda perlukan? Yup Anda perlu suasana baru, tantangan baru dan ekosistem baru, apalagi tempat yang dipilih merupakan pilihan para Rsi dari India yang melihat Kuati sebagai tempat yang sangat stategis sebagai pulau terbesar di Indonesia, tentu akan sangat aman dari goncangan gempa, terlebih posisi kota berada di barat dari sulawesi menjadikan kota ini sangat aman dari ancaman tzunami, berbeda dengan jakarta yang langsung menghadap ke samudera.
Artikel Menarik Lainnya
11/04/2020
Manusia Setengah dan Lima Metode Olah Diri Menjadi Manusia Paripurna
Manusia setengah merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan manusia yang menyukai pengakuan, pecicilan menunjukkan kemampuan, haus pujian dengan berbagau upaya 7/04/2019
Mau Anak mudah Nurut Sama Orang Tua, Lakukan ini..!
Mabin merupakan kegiatan mendudukan anak dipangkuan. Sebuah budaya Nusantara yang mengandung kecerdasan kinestetik dan efektif sebagai sarana pendidikan karakter anak 10/08/2020
TETABUHAN ARAK - BEREM DALAM TANTRA
Arak dan Berem merupakan minuman tradisional Bali yang tidak asing dikehidupan orang Bali pada umumnya. Apa fiosofi dibalik minumam arak dan berem ini, mari kita sedikit berdiskusi 19/07/2020
5 Fase Pergeseran Tumpek Landep
Era prasejarah, era agraris, era industri, era konseptual, era covid19 menjadi saksi dalam perkembangan ritual tumpek landep. Dalam setiap era memiliki pusaka masing-masing 7/04/2019