SENI BERJALAN
Ingatkah Anda bagaimana Anda belajar berjalan pertama kali? Saat saya mengajukan pertanyaan ini ke dalam diri saya sendiri, saya mengingat bagaimana mama menuntun saya dengan kedua tangannya, memperhatikan langkah demi langkah saya dengan kaki mungil, sambil menyeringai bahagia. Namun Ajik mengajari saya berjalan kedalam diri dengan cara menjadi orang yang"sedikit bicara" sampai kemudian orang-orang mengatainya "kolok atau bisu". Dan pada kenyataannya memang Beliau pernah mengalami delay spech saat masih anak anak.
Belajar berjalan dari mama, saya belajar memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari Beliau saya belajar bahwa berjalan membutuhkan kerjasama yang kompak dari pikiran yang berada di kepala, badan, tangan dan kaki yang harmoni sehingga saat berjalan tidak terhuyung-huyung. Setelah besar, Ibu semesta mengajarkan bawasannya Beliau melahirkan Brahmana dari kepala, dari tangan lahir ksatrya, dari badan lahir wesya dan dari kaki lahir sudra. Kami kemudian mengenalnya dengan Catur Warna, yang kini oleh ulah penjajah Belanda bergerser menjadi Kasta atau strata. Agar kehidupan damai dan harmonis, keempat warna bekerjasama satu sama lain, tidak ada yang lebih penting atau lebih tinggi kedudukannya. Tanpa tangan,kaki dan badan, kepala akan membusuk tidak dapat melakukan apa-apa.
Namun saat ini banyak orang yang melupakan seni berjalan, bawasannya kepala tidak dapat bergerak atau berpindah bila tidak disokong oleh badan, kaki dan tangan. Sekelompok orang mengaku kepala paling penting, core of the core, intinya inti, namun ia lupa yang jauh lebih penting adalah tubuh yang UTUH. Berjalan bersama berbagai warna di DALAM DIRI , itulah yang Ibu semesta dan mama kandung saya ajarkan kepada saya. Kita bisa bergerak, dengan baik dan benar bila koordinasi antara pikiran di kepala, sejalan dengan "pesan" neurohormonal yang diterima oleh badan, tangan dan kaki.
Beda lagi dengan Ajik yang mengajarkan saya berjalan ke DALAM (inside) DIRI. Beliau mengajarkan dengan bersikap diam dan banyak berkarya dalam hidup. "Karya 1000 kali lebih kuat dari rangkaian kata", pesan Beliau sambil memberikan pakan pada ternak kesayanggannya, sembari saya menguntit dibelakangnya membawakan pakan ternak dari kulit jagung yang digiling halus.
Perjalanan diri kedalam, jauh lebih sulit dan jauh. Dikatakan jauh karena bukan jarak geografis yang ditempuh, melainkan menempuh lapisan-lapisan maya yang menutupi SANG DIRI SEJATI. Dikatakan sulit karena perjalanan ini ditempuh seorang diri. Selain itu, orang yang melakukan perjalanan ini tidak akan mengetahui sebenarnya dirinya sudah sampai di mana. Ironisnya, ketika sampai di tujuan pun, ia tetap tidak menyadari bahwa dirinya sudah tiba. Ayah semesta melalui kitab gubahan para Wiku Kawi menyebutkan "tan wruh yan prapta" (tidak menyadari kalau sudah sampai). Singkatnya perjalanan diri kedalam akan melalui beberapa lapisan maya, disebut maya karena kita tidak menyadari keberadaannya.
Yang pertama, lapisan terluar dari tubuh adalah kulit, diatas kulit ada rambut, diatas rambut ada ujung rambut. Ujung rambut adalah sisi terluar tubuh yang bilamana bersentuhan dengan medan energi, kita akan merasa kesetrum atau merinding. Setelah peka dan menyadari dan melampaui tubuh paling luar dan kasar oleh Ayah Semesta menyebutknya sebagai ANNAMAYA KOSHA. Anna artinya diri atau tubuh. Maya bermakna tidak sadar akan tubuh. Seberapa banyak kita sadar memiliki kepala, kaki dan tangan? Seberapa banyak orang yang mampu menghargai keberadaan tubuh kasar orang lain sebagaimana menghargai tubuhnya? Yang ada, malah pengkultusan dan mengklaim diri lebih tinggi, lebih asli, lebih segalanya dari yang lain. Ketidaksadaran semacam itulah yang menyebabkan tubuh kasar ini disebut MAYA. Sedangkan KOSHA bermakna lapisan. Jika tubuh ini berlapis, lalu apa lapisan berikutnya?
Ayah Semesta dan Kandung mengajarkannya tidak dengan kata namun dengan RASA. Saat diam, Beliau mengolah nafas dengan tenang menarik dan menghembuskan. Beliau berkata, "pikiran ibarat bunga dan nafas adalah tangkainya, jadi untuk mendiamkan bunga, pegang erat tangkainya (nafas)". Ayah semesta melalui shastra menamakan lapisan nafas ini dengan PRANA MAYA KOSHA. Dalam tubuh lapisan ini membentuk sungai-sungai maya (tidak terlihat) yang kemudian dikenal dengan berbagai nama diantaranya meridian, kundalini, ida, pinggala dan lain sebagainya.
Perjalanan melampaui lapisan nafas, mengantarkan kita kepada perbatasan antara nafas dan pikiran, MANA MAYA KOSHA. Saat nafas dipegang kuat, maka bunga-pikiran akan diam. Pikiran dikatakan diam bila tidak lagi berpikir-pikir, mengingat-ngingat, membeda-bedakan, menghubung-hubungkan, mengait-ngaitkan, berhenti membayangkan, berpendapat, berasumsi, menamai dan seterusnya. Dengan kata lain DIAM adalah wujud brata dari pikiran, sebagaimana brata dari mulut adalah tidak makan-UPAWASA, bratanya mata dengan tidak tidur-JAGRA, dan bratanya lidah adalah saat tidak bicara-MONABRATA.
Ketika pikiran dapat didiamkan (diistirahatkan) maka perjalanan dapat dilanjutkan kedalam lapisan yang lebih halus, saking halusnya hanya getarannyan saja yang dapat dirasakan dan dinikmati. Lapisan ini adalah BUDDHI-VIJNANA MAYA KOSHA. JIka nafas, ibarat tangkai, bunga ibarat pikiran, maka aroma bunga adalah buddhi seseorang. Leluhur di Bali mengenalnya dengan kata TAKSU. Sebuah vibrasi yang sangat halus, daya pegaruh (influence) baik untuk diri dan lingkungannya. Para Kawi wiku menerjemahkan Budhhi sebagai KECERDASAN & KEBIJAKSANAAN. Dari lapisan inilah lahir berbagai INSPIRASI sebagai wujud getaran halus dari lapisan ini.
Perjalanan berikutnya adalah menuju lapisan terakhir. Untuk menempuhnya, seseorang harus menanggalkan semuanya sebagaimana sperma saat bertemu ovum, ia harus meninggalan ekor, bahkan kapsula sehingga perjalanan hanya ditempuh oleh badan Buddhi saja (inti sel). Perpisahan dengan lapisan sebelumnya tidak boleh dipaksakan (himsa) sebagaimana daun yang terjatuh karena dipaksa akan mengeluarkan getah sedangkan daun yang sudah waktunya telepas akan terlepas tanpa mengeluarkan getah, leluhur Bali mengenalnya dengan istilah "KALIS" atau dalam bahasa umum saya padankan dengan kata alami (natural). Hanya dauh-Buddhi yang telah matang yang dapat berpisah dengan kalis dengan ranting. Dalam kitab Dharma Sunya, Buddhi yang matang disebut SIDDHA-SUDDHA. Siddha berarti buddhi telah sampai pada kepenuhanya, seperti lingkaran yang sempurna bulatnya. Sebagaimana pelari sudah mencapai garis finish. Suddha berarti suci dalam arti tidak bercampur. Tidak bercampur berarti bebas dari kekotoran-MALA. Keadaan bebas mala disebut NIRMALA.
Apabila Buddhi telah mengalami SIDDHA-SUDDHA, maka seseorang akan menginjakkan kaki di halaman depan kawasan ANANDA MAYA KOSHA, lapisan kebahagiaan. Apakah sudah sampai? Yap baru di gerbangnnya saja, kebahagiaan ini pun harus dilampaui, bagaimana melampaui kebahagiaan? Apa ada orang yang iklas melewati dan meninggalkan kebahagiaan? Saya tidak dapat membahasnya lebih lanjut disini, mungkin di lain waktu dan dil ain kesempatan.
Demikianlah seni berjalan. Perjalanan diri keluar dan diri ke dalam, semuanya membutuhkan tuntunan dan bimbingan dari orang yang telah bisa berjalan lebih dahulu.
Bagaimana Anda belajar berjalan? Siapa yang mengajari Anda berjalan?
#renungan_sidhakarya
#35 tahun
Belajar berjalan dari mama, saya belajar memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari Beliau saya belajar bahwa berjalan membutuhkan kerjasama yang kompak dari pikiran yang berada di kepala, badan, tangan dan kaki yang harmoni sehingga saat berjalan tidak terhuyung-huyung. Setelah besar, Ibu semesta mengajarkan bawasannya Beliau melahirkan Brahmana dari kepala, dari tangan lahir ksatrya, dari badan lahir wesya dan dari kaki lahir sudra. Kami kemudian mengenalnya dengan Catur Warna, yang kini oleh ulah penjajah Belanda bergerser menjadi Kasta atau strata. Agar kehidupan damai dan harmonis, keempat warna bekerjasama satu sama lain, tidak ada yang lebih penting atau lebih tinggi kedudukannya. Tanpa tangan,kaki dan badan, kepala akan membusuk tidak dapat melakukan apa-apa.
Namun saat ini banyak orang yang melupakan seni berjalan, bawasannya kepala tidak dapat bergerak atau berpindah bila tidak disokong oleh badan, kaki dan tangan. Sekelompok orang mengaku kepala paling penting, core of the core, intinya inti, namun ia lupa yang jauh lebih penting adalah tubuh yang UTUH. Berjalan bersama berbagai warna di DALAM DIRI , itulah yang Ibu semesta dan mama kandung saya ajarkan kepada saya. Kita bisa bergerak, dengan baik dan benar bila koordinasi antara pikiran di kepala, sejalan dengan "pesan" neurohormonal yang diterima oleh badan, tangan dan kaki.
Beda lagi dengan Ajik yang mengajarkan saya berjalan ke DALAM (inside) DIRI. Beliau mengajarkan dengan bersikap diam dan banyak berkarya dalam hidup. "Karya 1000 kali lebih kuat dari rangkaian kata", pesan Beliau sambil memberikan pakan pada ternak kesayanggannya, sembari saya menguntit dibelakangnya membawakan pakan ternak dari kulit jagung yang digiling halus.
Perjalanan diri kedalam, jauh lebih sulit dan jauh. Dikatakan jauh karena bukan jarak geografis yang ditempuh, melainkan menempuh lapisan-lapisan maya yang menutupi SANG DIRI SEJATI. Dikatakan sulit karena perjalanan ini ditempuh seorang diri. Selain itu, orang yang melakukan perjalanan ini tidak akan mengetahui sebenarnya dirinya sudah sampai di mana. Ironisnya, ketika sampai di tujuan pun, ia tetap tidak menyadari bahwa dirinya sudah tiba. Ayah semesta melalui kitab gubahan para Wiku Kawi menyebutkan "tan wruh yan prapta" (tidak menyadari kalau sudah sampai). Singkatnya perjalanan diri kedalam akan melalui beberapa lapisan maya, disebut maya karena kita tidak menyadari keberadaannya.
Yang pertama, lapisan terluar dari tubuh adalah kulit, diatas kulit ada rambut, diatas rambut ada ujung rambut. Ujung rambut adalah sisi terluar tubuh yang bilamana bersentuhan dengan medan energi, kita akan merasa kesetrum atau merinding. Setelah peka dan menyadari dan melampaui tubuh paling luar dan kasar oleh Ayah Semesta menyebutknya sebagai ANNAMAYA KOSHA. Anna artinya diri atau tubuh. Maya bermakna tidak sadar akan tubuh. Seberapa banyak kita sadar memiliki kepala, kaki dan tangan? Seberapa banyak orang yang mampu menghargai keberadaan tubuh kasar orang lain sebagaimana menghargai tubuhnya? Yang ada, malah pengkultusan dan mengklaim diri lebih tinggi, lebih asli, lebih segalanya dari yang lain. Ketidaksadaran semacam itulah yang menyebabkan tubuh kasar ini disebut MAYA. Sedangkan KOSHA bermakna lapisan. Jika tubuh ini berlapis, lalu apa lapisan berikutnya?
Ayah Semesta dan Kandung mengajarkannya tidak dengan kata namun dengan RASA. Saat diam, Beliau mengolah nafas dengan tenang menarik dan menghembuskan. Beliau berkata, "pikiran ibarat bunga dan nafas adalah tangkainya, jadi untuk mendiamkan bunga, pegang erat tangkainya (nafas)". Ayah semesta melalui shastra menamakan lapisan nafas ini dengan PRANA MAYA KOSHA. Dalam tubuh lapisan ini membentuk sungai-sungai maya (tidak terlihat) yang kemudian dikenal dengan berbagai nama diantaranya meridian, kundalini, ida, pinggala dan lain sebagainya.
Perjalanan melampaui lapisan nafas, mengantarkan kita kepada perbatasan antara nafas dan pikiran, MANA MAYA KOSHA. Saat nafas dipegang kuat, maka bunga-pikiran akan diam. Pikiran dikatakan diam bila tidak lagi berpikir-pikir, mengingat-ngingat, membeda-bedakan, menghubung-hubungkan, mengait-ngaitkan, berhenti membayangkan, berpendapat, berasumsi, menamai dan seterusnya. Dengan kata lain DIAM adalah wujud brata dari pikiran, sebagaimana brata dari mulut adalah tidak makan-UPAWASA, bratanya mata dengan tidak tidur-JAGRA, dan bratanya lidah adalah saat tidak bicara-MONABRATA.
Ketika pikiran dapat didiamkan (diistirahatkan) maka perjalanan dapat dilanjutkan kedalam lapisan yang lebih halus, saking halusnya hanya getarannyan saja yang dapat dirasakan dan dinikmati. Lapisan ini adalah BUDDHI-VIJNANA MAYA KOSHA. JIka nafas, ibarat tangkai, bunga ibarat pikiran, maka aroma bunga adalah buddhi seseorang. Leluhur di Bali mengenalnya dengan kata TAKSU. Sebuah vibrasi yang sangat halus, daya pegaruh (influence) baik untuk diri dan lingkungannya. Para Kawi wiku menerjemahkan Budhhi sebagai KECERDASAN & KEBIJAKSANAAN. Dari lapisan inilah lahir berbagai INSPIRASI sebagai wujud getaran halus dari lapisan ini.
Perjalanan berikutnya adalah menuju lapisan terakhir. Untuk menempuhnya, seseorang harus menanggalkan semuanya sebagaimana sperma saat bertemu ovum, ia harus meninggalan ekor, bahkan kapsula sehingga perjalanan hanya ditempuh oleh badan Buddhi saja (inti sel). Perpisahan dengan lapisan sebelumnya tidak boleh dipaksakan (himsa) sebagaimana daun yang terjatuh karena dipaksa akan mengeluarkan getah sedangkan daun yang sudah waktunya telepas akan terlepas tanpa mengeluarkan getah, leluhur Bali mengenalnya dengan istilah "KALIS" atau dalam bahasa umum saya padankan dengan kata alami (natural). Hanya dauh-Buddhi yang telah matang yang dapat berpisah dengan kalis dengan ranting. Dalam kitab Dharma Sunya, Buddhi yang matang disebut SIDDHA-SUDDHA. Siddha berarti buddhi telah sampai pada kepenuhanya, seperti lingkaran yang sempurna bulatnya. Sebagaimana pelari sudah mencapai garis finish. Suddha berarti suci dalam arti tidak bercampur. Tidak bercampur berarti bebas dari kekotoran-MALA. Keadaan bebas mala disebut NIRMALA.
Apabila Buddhi telah mengalami SIDDHA-SUDDHA, maka seseorang akan menginjakkan kaki di halaman depan kawasan ANANDA MAYA KOSHA, lapisan kebahagiaan. Apakah sudah sampai? Yap baru di gerbangnnya saja, kebahagiaan ini pun harus dilampaui, bagaimana melampaui kebahagiaan? Apa ada orang yang iklas melewati dan meninggalkan kebahagiaan? Saya tidak dapat membahasnya lebih lanjut disini, mungkin di lain waktu dan dil ain kesempatan.
Demikianlah seni berjalan. Perjalanan diri keluar dan diri ke dalam, semuanya membutuhkan tuntunan dan bimbingan dari orang yang telah bisa berjalan lebih dahulu.
Bagaimana Anda belajar berjalan? Siapa yang mengajari Anda berjalan?
#renungan_sidhakarya
#35 tahun
Artikel Menarik Lainnya
7/04/2019
Fakta Tumbuhan ‘Tiying’.
Di tengah masyarakat Bali, Tiying adalah tumbuhan yang sangat terkenal dan merupakan jenis tanaman yang paling banyak memiliki kegunaan dan manfaat. 7/04/2019
Khasiat Don Piduh
Don Piduh sangat populer di Bali. Dalam lotar Usada Bali, penggunaan Don Piduh sebagai obat tradisional yang sangat mujarab 12/07/2020
DESA KALA PATRA DALAM ERA BARU
Konsep Desa (ruang) Kala (waktu) dan Patra (keadaan) di era baru. Sebuah local wisdom yang memiliki makna yang sangat dalam 19/07/2020
5 Fase Pergeseran Tumpek Landep
Era prasejarah, era agraris, era industri, era konseptual, era covid19 menjadi saksi dalam perkembangan ritual tumpek landep. Dalam setiap era memiliki pusaka masing-masing 2/09/2019